Sektor Pangan - CIPS Sarankan Bulog untuk Tinjau Ulang Skema Penyerapan Beras

NERACA

Jakarta – Bulog perlu meninjau ulang skema penyerapan beras yang selama ini dilakukan. Ditemukannya beras busuk di Sumatra Selatan membuktikan perlunya perbaikan dalam skema penyerapan beras supaya oleh Bulog. Hal ini diperlukan untuk memaksimalkan fleksibilitas Bulog dalam melakukan penyerapan dan distribusi beras.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, perlunya evaluasi ini tidak lepas dari berubahnya skema penyaluran beras ke masyarakat. Lewat program Raskin yang berubah nama menjadi Rastra pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, beras tadinya disalurkan melalui kelurahan setempat dan dibagikan sebanyak 10 kilogram untuk setiap penerima setiap bulannya.

Namun pada pelaksanaannya, skema ini menemui permasalahan yaitu sebagian penerima manfaat tidak menerima beras sesuai dengan jatah yang seharusnya. Hal ini karena ada sebagian kelurahan yang mendistribusikan beras ke RT di wilayahnya. Namun RT justru membagikan beras tersebut ke semua warga, termasuk mereka yang tidak termasuk sebagai penerima manfaat Rastra. “Hal ini berkontribusi pada perubahan skema penyaluran menjadi BPNT,” jelasnya, disalin dari siaran resmi.

Ilman menambahkan, skema pemberian bantuan lewat BPNT dilakukan melalui rekening atm (non tunai). Saldo dalam rekening ini kemudian bisa dicairkan di e-warung tertentu yang sudah ditunjuk pemerintah. Pengelola e-warung dibebaskan untuk menjual beras dari Bulog atau beras jenis premium. Sementara itu penerima manfaat bisa mencairkan bantuan tersebut di e-warung terdekat dan juga untuk jenis beras yang dijual di situ.

Skema ini menyebabkan penumpukan beras di gudang Bulog karena beras Bulog tidak diminati oleh para penerima manfaat. Tidak diminatinya beras Bulog dikarenakan kualitasnya rendah. Hal ini patut menjadi perhatian Bulog supaya kualitas beras bisa diperbaiki dan tersalur ke masyarakat.  Lebih jauh lagi, pemerintah sebaiknya memberikan fleksibilitas kepada Bulog dalam menyerap beras dengan mempertimbangkan penerapan HPP. Hal ini penting untuk memperlancar skema penyerapan beras melalui BPNT.

Sebelumnya, impor pangan terutama beras disebut masih terjadi karena data yang dimiliki pemerintah tidak valid mengenai ketersediaan dan kebutuhannya. "Di beras itu, data sangat krusial karena dibutuhkan untuk melihat berapa kebutuhan dan berapa ketersediaannya. Impor beras itu terjadi karena data kita masih belum valid," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah sebagaimana disalin dari Antara.

Menurut Rusli, data 2,8 juta ton surplus beras yang disebut calon presiden nomor urut 01 Jokowi pada saat debat capres putaran kedua, Minggu (17/2), baru ketahuan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan data pada Oktober 2018.

Sayangnya, impor justru telah dilakukan pada awal 2018, jauh sebelum data valid dari BPS dipublikasikan. "Mungkin bisa dibilang Pak Jokowi kecolongan karena sudah impor untuk stabilkan harga beras yang tinggi sejak 2017, ternyata BPS keluarkan data bahwa ada surplus," katanya.

Dengan kondisi tersebut, Rusli berharap seharusnya Jokowi bisa mendorong BPS untuk bisa mempublikasikan data lebih awal. "Coba kalau ada data sejak 2016-2017, mungkin tidak ada impor pada 2018," katanya.

Sebelumnya, isu impor pangan mengemuka dalam debat capres putaran kedua, ketika calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan impor pangan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo. Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan bahwa impor pangan masih dibutuhkan sebagai cadangan strategis untuk menstabilkan harga atau apabila terjadi gagal panen dan bencana alam.

Kementerian Pertanian menegaskan produksi jagung selama empat tahun terakhir sudah mencukupi kebutuhan pakan ternak secara menyeluruh di seluruh daerah. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita menjelaskan sejak 2014, rekomendasi pemasukan jagung sebagai pakan ternak mencapai 3,16 juta ton. Namun jumlah tersebut menurun pada 2015 menjadi sebesar 13,34 persen atau 2,74 juta ton. Selanjutnya menurun drastis pada 2016 sebesar 67,73 persen atau 884,6 ribu ton. Kemudian zero impor jagung pakan ternak pada tahun 2017.

"Kemudian pada tahun 2018 dilakukan impor jagung pakan ternak sebanyak 73 ribu ton yang digunakan sebagai cadangan pemerintah melalui Rakortas dengan pelaksana impor jagung adalah Bulog," kata Ketut Diarmita di Jakarta, disalin dari Antara.

Ketut mengatakan data impor jagung yang dipublikasikan oleh BPS maupun Kementerian Pertanian terdiri dari beberapa kode Harmonized System (HS) dan bukan merupakan produk tunggal. Dengan demikian, data impor secara keseluruhan bukan sebagai bahan pakan. Menurut dia, data impor yang ada terdiri dari jagung segar maupun olahan.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…