"Internet Of Things" Dorong Produktivitas Petani

NERACA

Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan bahwa "Internet of things" atau IoT dapat membuat para petani menjadi lebih produktif. "Hubungannya (IoT) dengan pertanian, saat ini di sektor pertanian sudah terdapat alat-alat yang dapat memantau dan mengontrol aspek-aspek pertanian, seperti kondisi tanah, kebutuhan pupuk, kondisi cuaca dan sebagainya itu bisa terkontrol dan terpantau secara remote atau dari jarak jauh. Hal ini tentunya dapat membuat petani lebih produktif," tutur Tenaga Ahli Menteri Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet Kominfo Donny B.U. kepada wartawan di Jakarta, disalin dari Antara.

Dia menjelaskan bahwa IoT itu pada dasarnya yakni segala hal akan terhubung dengan internet, kalau saat ini apa yang berkaitan dengan internet ialah gadget atau laptop. "Nantinya IoT itu akan terdapat dalam semua pernak-pernik seperti kursi, dompet, baju dan beragam hal lainnya terkoneksi dengan internet," kata Donny usai menjadi narasumber dalam sebuah diskusi. IoT, menurut dia, tidak hanya dapat diimplementasikan dalam sektor pertanian, namun juga bisa diterapkan dalam sektor perikanan sehingga dapat membantu nelayan.

Sebelumnya Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menyatakan bahwa pemasangan perangkat yang tersambung ke internet (Internet of things /IoT) di dunia pertanian akan meningkat dari 30 juta pada 2015 menjadi 75 juta unit pada 2020.

Kemenristekdikti melanjutkan, hasil riset Business Insider Intelligence, suatu layanan riset premium itu menyebut di era revolusi industri 4.0 penerapan solusi internet untuk segala (internet of things / IoT), data besar (big data), dan pertanian cerdas (smart farming) di bidang pertanian sudah semakin luas. Maka dari itu, semua prediksi ini harus disikapi dengan persiapan penyediaan sumber daya manusia yang memadai di perguruan-perguruan tinggi pertanian.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian gencar melakukan sosialiasi kepada para pelaku industri manufaktur di Indonesia mengenai indikator penilaian penerapan teknologi industri 4.0  atau Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0). Langkah ini merupakan bagian dari tahap implementasi Making Indonesia 4.0.

“Melalui peta jalan Making Indonesia 4.0, kita menyatakan kesiapan memasuki era industri 4.0. Artinya, kita juga sudah punya strategi dan arah yang jelas dalam merevitalisasi manufaktur nasional agar lebih berdaya saing global,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara pada Workshop Self Assessment dengan tools INDI 4.0 di Jakarta, disalin dari siaran resmi.

Kemenperin menyelenggarakan lokakarya tersebut, dengan mengundang 112 perusahaan industri yang mewakili lima sektor manufaktur yang sedang mendapat prioritas pengembangan industri 4.0. Kelima sektor itu adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronika.

“INDI 4.0 merupakan sebuah indeks acuan yang digunakan oleh industri dan pemerintah untuk mengukur tingkat kesiapan perusahaan menuju industri 4.0,” jelas Ngakan. Bagi industri, INDI 4.0 mempunyai banyak fungsi, di antaranya sebagai acuan untuk menentukan posisi perusahaan yang kaitannya dengan industri 4.0 sehingga dapat menentukan strategi perusahaan ke depan.

Ngakan menambahkan, sejumlah negara juga sudah memiliki sistem pengukuran implementasi industri 4.0, seperti Industrie 4.0 Readiness dari VDMA Jerman dan The Singapore Smart Industry Readiness Index. “Yang membedakan INDI 4.0 dengan indeks tersebut, adalah adanya penilaian yang disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi industri di Indonesia,” tegasnya.

Dalam INDI 4.0 ada lima pilar yang diukur, yaitu manajemen dan organisasi (management and organization), orang dan budaya (people and culture), produk dan layanan (product and services), teknologi (technology), dan operasi pabrik (factory operation). Kemudian dari kelima pilar, dibagi lagi menjadi 17 bidang.

Mengenai metode asesmen INDI 4.0, Ngakan menyebutkan, dilakukan melalui survei secara online yang diisi oleh pihak industri dengan dilanjutkan verifikasi lapangan yang dilakukan oleh para ahli yang kemudian dinilai dari level 0 sampai level 4.

Level 0 artinya industri “belum siap” bertransformasi ke industri 4.0, kemudian level 1: industri masih pada tahap “kesiapan awal”, level 2: industri pada tahap “kesiapan sedang”, level 3: industri sudah pada tahap “kesiapan matang” bertransformasi ke industri 4.0, dan level 4: industri “sudah menerapkan” sebagian besar konsep industri 4.0 di sistem produksinya.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…