Tiga Anggota DPRD Sumut Kembali Didakwa Terima Suap

Tiga Anggota DPRD Sumut Kembali Didakwa Terima Suap

NERACA

Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) KPK kembali mendakwa tiga orang terdakwa anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) 2009 sampai 2014 sebagai terdakwa penerima "uang ketok" dari Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho senilai ratusan juga rupiah.

Ketiga anggota DPRD Provinsi Sumut 2009 s.d. 2014 tersebut menyusul 27 orang rekannya yang sudah menjadi terdakwa dalam perkara yang sama. Ketiga terdakwa adalah anggota DPRD Provinsi Sumut 2009 s.d. 2014 Fraksi Gabungan Gerindra Bulan Bintang Reformasi (FG GBBR) dari Partai Bintang Reformasi (PBR) Abu Bokar Tambak, serta anggota DPRD Provinsi Sumut 2009 s.d. 2014 dari Fraksi Partai Demokrat Enda Mora Lubis dan M. Yusuf Siregar.

"Terdakwa I Abu Bokar Tombak menerima sebesar Rp477,5 juta, terdakwa II Enda Mora Lubis menerima sebesar Rp502,5 juta, dan terdakwa III M Yusuf Siregar menerima sebesar Rp772,5 juta dari Gatot Pujo Nugroho selaku Gubernur Sumut," kata JPU Putra Iskandar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (20/2).

Uang itu untuk pertama, pengesahan terhadap LPJB APBD Sumut tahun anggaran (TA) 2012. Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumut 2009 s.d. 2014 Kamaluddin Harahap meminta kompensasi yang disebut "uang ketok" kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Nurdin Lubis sebesar Rp1,55 miliar untuk seluruh anggota DPRD Sumut.

Pembagiannya, anggota DPRD masing-masing mendapat bagian sebear Rp12,5 juta; sekretaris fraksi mendapat sebesar Rp17,5 juta; ketua fraski mendapat Rp20 juta; wakil Ketua DPRD mendapat tambahan Rp40 juta; dan ketua DPRD mendapat tambahan Rp77,5 juta.

Uang ketok itu berasal dari pinjaman Anwar Ul Haq sebesar Rp1,5 miliar yang bersumber dari beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Sumut. Uang diserahkan pada bulan September 2013. Kedua, pengesahan terhadap APBD Perubahan Sumut TA 2013. Wakil Ketua DPRD Sumut saat itu Kamaluddin Harahap kembali meminta "uang ketok" sebesar Rp2,55 miliar.

Pembagiannya adalah anggota DPRD masing-masing mendapat bagian sebear Rp15 juta; anggota Badan Anggaran (Banggar) mendapat tambahan sebesar Rp10 juta; sekretaris fraksi mendapat sebesar Rp10 juta; ketua fraski mendapat tambahan Rp15 juta; wakil ketua DPRD mendapat tambahan Rp50 juta; dan ketua DPRD mendapat tambahan Rp150 juta.

Ketiga, pengesahan APBD Sumut TA 2014. Wakil Ketua DPRD Sumut saat itu Kamaluddin Harahap dan Sigit Pramono Asri menyampaikan permintaan proyek belanja modal senilai Rp1 triliun tapi Gatot menolaknya sehingga disepakati penggantiannya dalam bentuk uang tunai sebesar Rp50 miliar kepada seluruh anggota DPRD Sumut.

Pembagiannya melalui bendahara dewan yaitu Muhammad Alinafiah agar seolah-olah anggota DPRD Provinsi Sumut mengambil gaji dan honor lain setiap bulannya.

Keempat, pengesahan terhadap APBD Perubahan 2014 dan APBD TA 2015. Untuk pengesahan kedua hal tersebut, anggota DPRD meminta Rp200 juta per anggota. Permintaan itu disanggupi dan akan diberikan setelah rancangan perda tentang APBD Sumut TA 2015 disetujui DPRD Sumut.

Dalam kurun waktu September s.d. Desember 2014, Ahmad Fuad Lubis membagikan uang kepada seluruh anggota DPRD Sumut termasuk para terdakwa.

Kelima, pengesahan terhadap LPJP APBD TA 2014. Dalam rapat setengah kamar yang dihadiri pihak Provinsi Sumut dan semua ketua fraksi, yaitu dari Fraksi Golkar, PDI Perjuangan, Fraksi Keadilan Persatuan Bangsa, Fraksi NasDem, Fraksi Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi Gerindra, Fraksi Hanura, dan Fraksi PKB; anggota DPRD Provinsi Sumut meminta uang Rp1 miliar untuk pengesahan LPJP APBD Sumut 2014.

Namun, Gatot Pujo Nugroho tidak bersedia memberikannya sehingga akhirnya dicapai kesepakatan pemberian "hanya" Rp300 juta dengan perincian anggota DPRD mendapat Rp2,5 juta, ketua fraksi Rp5 juta, pimpinan DPRD Rp7,5 juta sehingga terdakwa IV Rinawati Sianturi mendapatkan Rp2,5 juta dan Tiasah Ritonga mendapatkan Rp2,5 juta.

Terhadap perbuatannya tersebut, ketiga terdakwa didakwa berdasarkan Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar. Ant

 

 

 

BERITA TERKAIT

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…