Oleh: Pril Huseno
Dampak perang dagang China–Amerika Serikat (AS) bagi perekonomian Indonesia perlahan tapi pasti mulai terasa. Industri baja lokal di Indonesia telah kalah bersaing dengan produk baja impor dari China, yang harganya jauh lebih murah dari baja lokal. Akibatnya, penjualan baja lokal dalam negeri keok tak berdaya melawan produk baja impor. Parahnya lagi, defisit perdagangan China dengan Indonesia menjadi semakin melebar. Impor barang China ke Indonesia tercatat menjadi tertinggi di dunia yakni mencapai 59,7 persen.
Tak pelak, Menteri Perdagangan Enggartiasto pun menilai China telah memainkan politik banting harga dan segera menyiapkan langkah anti dumping terhadap baja impor China. China melakukan dumping produk baja nya di luar negeri untuk menyiasati proteksi Amerika terhadap produk baja dari China, yang oleh Trump dikenakan bea masuk hingga 25 persen. Meskipun China membalas dengan hal yang sama terhadap produk AS, tetapi kehilangan pasar baja yang besar di AS membuat China kemudian mengalihkan target pasar ekspor bajanya ke kawasan lain di dunia, termasuk Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Tidak hanya itu, China juga berencana akan memindahkan sebagian produksi bajanya ke kawasan Asia Tenggara dengan tujuan menekan harga jual produk baja China serendah mungkin di pasaran.
Untuk mengatasi defisit perdagangan Indonesia dan China yang semakin melebar, pemerintah berencana memperketat impor baja China melalui pengefektifan Permendag No.110 tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang baru dirilis pada 5 Desember 2018 lalu. Pada Permendag tersebut memang telah diwajibkan untuk dilakukan verifikasi atau penelusuran di Pusat Logistik Berikat (PLB) yang berlaku 20 Januari 2019 lalu. Selain itu turut dihapus izin kemudahan impor baja bagi Industri Kecil Menengah (IKM) senilai kurang dari 1 ton.
Apakah langkah pengetatan tersebut akan benar-benar efektif berjalan? Mengingat, pukulan bagi produksi baja lokal oleh baja impor China berupa praktek banting harga sampai 28 persen lebih murah dari harga baja lokal. Lagipula, baja impor China berharga murah tersebut telah membanjir masuk sejak 4-5 tahun belakangan. Khususnya sejak maraknya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dapatkah kondisi tersebut diperbaiki menjadi lebih menguntungkan bagi produk baja Indonesia?
Baja impor dari China bisa jauh lebih murah karena pemerintah China memberikan tax rebate atau potongan pajak khusus bagi baja ekspor berjenis baja alloy atau baja paduan berkisar 13-15 persen. Celakanya, baja jenis alloy atau paduan yang biasa digunakan untuk rel kereta api, komponen alat berat dan lainnya, belum bisa diproduksi oleh industri baja lokal. Sehingga jenis baja paduan mendapat bea masuk 0 persen.
Kondisi industri baja nasional, sejak 2010 memang diketahui telah mengalami 3 masalah serius antara lain rendahnya produksi dan konsumsi baja nasional, juga masalah pasokan energi khususnya energi gas pada industri baja di tengah semakin mahalnya harga gas. Terakhir, masalah perdagangan produk baja dalam negeri yang dinilai terlalu terbuka serta masalah dumping harga dari baja impor yang justru telah terdeteksi sejak lama.
Apakah permasalahan yang menimpa industri baja nasional telah cukup dapat diatasi selama ini? Apa kiat paling jitu bagi efektivitas pengetatan impor baja yang hendak dilaksanakan Kementerian Perdagangan, di tengah situasi dan kondisi industri baja nasional yang sepertinya kurang menguntungkan? (www.watyutink.com)
Oleh: Naomi Leah Christine, Analis Sosial dan Politik Rekonsiliasi antar pihak pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi…
Oleh : Nagita Salwa, Mahasiswa Jurusan Ekonomi dan Bisnis di PTS Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output…
Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, CEO Narasi Institute Konflik gaza sejak Oktober 2023 kini berkembang menjadi kekacauan…
Oleh: Naomi Leah Christine, Analis Sosial dan Politik Rekonsiliasi antar pihak pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi…
Oleh : Nagita Salwa, Mahasiswa Jurusan Ekonomi dan Bisnis di PTS Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output…
Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, CEO Narasi Institute Konflik gaza sejak Oktober 2023 kini berkembang menjadi kekacauan…