Gaji Mereduksi Korupsi?

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Debat capres – cawapres tanggal 17 Januari 2019 bertema Hukum, HAM, Terorisme dan Korupsi menyisakan pertanyaan tentang jaminan fasilitas gaji versi Prabowo yang dapat mereduksi ancaman korupsi. Isu korupsi dalam debat pilpres sangat menarik dicermati terutama realitas di tahun 2018 banyak terjadi OTT sehingga beralasan jika tahun 2018 disebagai sebagai Tahun OTT. Ironisnya, meski banyak OTT tetapi tidak menimbulkan efek jera. Terkait ini beralasan jika muncul pertanyaan bagaimana upaya menciptakan efek jera? Apakah fasilitas gaji mampu mereduksi ancaman korupsi? Bukankah selama ini pemerintah telah menaikan nominal gaji, tunjangan kinerja dan fasilitas lainnya?

Pemborgolan yang mulai diterapkan oleh KPK kepada tahanan di rutan KPK atau dalam perkara yang ditangani KPK sejatinya adalah salah satu upaya menimbulkan efek jera. Upaya ini menarik dicermati karena selama ini seolah tidak ada efek jera dan koruptor seolah mencibir penegakan hukum pemberantasan korupsi. Betapa tidak dalam beberapa pengungkapan tidak jarang koruptor, termasuk yang tertangkap OTT dengan tenangnya melambaikan salam metal dan menebar senyum ke media seolah tanpa merasa bersalah. Bahkan, meski selama 2018 terjadi rentetan OTT tapi itu semua tidak menyiutkan nyali calon koruptor untuk terus memperkaya diri dengan memanfaatkan fasilitas jabatan yang diembannya. Oleh karenanya beralasan jika tahun 2018 identik dengan Tahun OTT dan karenanya beralasan jika tema tentang korupsi diangkat pada debat capres yang pertama.

Nafsu Korupsi

Argumen dibalik 2018 sebagai Tahun OTT tidak terlepas dari banyaknya kepala daerah dan sejumlah wakil rakyat serta pejabat publik yang terciduk KPK. Bahkan, vonis SN atas kasus e-ktp juga tidak mereduksi semangat untuk korupsi. Pada 12 Desember 2018, Bupati Cianjur menjadi penutup prestasi KPK atas kejahatan korupsi yang terjaring OTT. Padahal, sebelumnya menjelang akhir tahun 2018, kembali KPK melakukan OTT terhadap Bupati Pakpak Bharat, Sumatera Utara yaitu Remigo Yolanda Berutu. OTT ini seolah menguatkan semakin banyaknya kepala daerah terjerat korupsi. Betapa tidak, kasus ini yaitu kepala daerah ke-37 yang terjerat OTT KPK dan setidaknya telah ada 111 kepala daerah terciduk KPK.

Sampai kapan ini terjadi? Bagaimana sebenarnya sanksi hukum bagi koruptor? Mengapa tidak ada efek jera? Apakah borgol efektif, meski rompi orange gagal mereduksi efek jera? Apakah gaji akan mereduksi korupsi? Pertanyaan ini wajar mengemuka jika dikaitkan dengan semakin kritisnya budaya korupsi di republik ini dan karenanya beralasan jika sejumlah lembaga internasional masih menetapkan republik ini sebagai juara korupsi karena memang faktanya demikian. Oleh karena itu, argumen Prabowo atas fasilitas gaji tidak menjamin selama nafsu korupsi masih tinggi, bukan hanya nafsu secara individual tetapi juga berjamaah secara sistem. Mengapa?

Fakta yang ada, serangkaian korupsi yang terjadi tidak hanya dilakukan individu tetapi juga dilakukan berjamaah. Hal ini terlihat di Malang. Ironisnya, dari 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 ternyata 41 diantaranya terjerat korupsi yang bermula saat KPK melakukan OTT atas Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan-DPUPPB Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono dan mantan Ketua DPRD Kota Malang, Moch Arief Wicaksono pada Nopember 2017 lalu. Ironisnya kasus ini juga melibatkan mantan Wali Kota Malang, Mochamad Anton.

Kasus serupa juga pernah terjadi di Medan, Sumatera Utara melibatkan semua anggota DPRD berjumlah 50 orang periode 2009-2014, juga melibatkan mantan Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho. Seolah menjadi jamak maka ancaman korupsi massal harus dicermati karena dampak kerugian yang terjadi kian besar. Apakah borgol efektif mereduksi efek jera? Apakah fasilitas gaji efektif meredam nafsu korupsi?

Jika dicermati sejatinya muara dari perilaku korupsi adalah sama yaitu memperkaya diri sendiri yang imbasnya adalah tuntutan balik modal karena mahalnya ongkos demokrasi di republik ini. Oleh karenanya pemerintah perlu memikirkan bagaimana agar ongkos politik dalam sistem demokrasi kita bisa menjadi murah tanpa harus murahan. Selain itu, parpol juga perlu memikirkan prosedural kaderisasi yang mantab sehingga tidak comot sembarangan yang kemudian berakibat fatal mempermalukan parpolnya sendiri.

Dalih tanpa memberikan bantuan hukum dan pemecatan terhadap kader parpol yang terbukti korupsi tidak akan secara langsung menghapuskan citra parpol di benak masyarakat dan tentu parpol juga dirugikan dengan serangkaian kasus korupsi yang melibatkan banyak kepala daerah. Bahkan, rentetan OTT oleh KPK semakin menguatkan asumsi bahwa era otda dengan berbagai pemekaran ternyata justru memperbanyak kasus korupsi di daerah. Selain itu, fakta maraknya pemekaran juga berimbas terhadap lahirnya politik dinasti yang kemudian berdampak terhadap lahirnya dinasti korupsi di republik ini. Persoalan ini menjadi tantangan bagi kedua capres untuk mengantisipasinya jika menang pilpres.

Serius

Modus korupsi yang terjadi di daerah sejatinya juga hampir sama, termasuk juga kasus gratifikasi yang terjadi. Kasus yang klasik adalah tentang jual beli jabatan, mutasi dan korupsi pengadaan. Selain itu, jika kasusnya anggaran daerah biasanya terkait dengan uang ketok palu yang berorientasi dengan upaya memuluskan APBD. Bahkan, kasus di berbagai proyek pembangunan di daerah juga menjadi lahan basah terjadinya korupsi. Yang justru menjadi pertanyaan sistem online yang diterapkan ternyata juga bisa dengan mudah disiasati, bukannya justru ditaati. Jika sudah demikian maka runyam sudah apa yang diharapkan dari semangat era otda dan juga pemekarannya. Betapa tidak, sejak era otda bergulir ternyata taraf kesejahteraan tidak berubah signifikan dan pemekaran yang terjadi justru semakin diwarnai oleh maraknya OTT oleh KPK kepada kepala daerah.

Apa yang terjadi dengan serangkaian kasus korupsi maka pilpres 2019 mendatang harus bisa menjadi cambuk untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari pusat sampai ke daerah, dari semua lembaga yang ada baik itu legislatif, eksekutif dan yudikatif sehingga kesan bersih tercermin dalam pemerintahan yang baik. Memang ini tidak mudah tetapi jika tidak segera dicanangkan maka pemerintahan akan terus tercabik dengan banyaknya kepala daerah dan pejabat publik yang terjerat OTT KPK.

Selain itu, lembaga peradilan juga harus dibersihkan. Kasus Akhil Mokhtar menjadi bukti sehingga pidana maksimal menjadi relevan, meskipun belum memicu efek jera dan juga kasus mafia peradilan yang kemarin juga terjadi di PN Medan. Jadi, borgol menjadi tantangan untuk mereduksinya, meski masih harus dibuktikan, setidaknya selama tahun 2019 pasca pilpres. Meskipun demikian, fasilitas gaji dipastikan tidak berpengaruh selama nafsu korupsi masih tinggi.

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…