Jalur Sutera China, Berkah atau Bencana?

Oleh: Pril Huseno

Perekonomian China memang sedang menjadi pusat perhatian dunia. Negara dengan cadangan devisa terbesar se-jagad (3,112 triliun dolar AS sampai tengah tahun lalu), dengan gemas sedang terus diincar, terutama oleh Negara Superpower Amerika Serikat (AS). Presiden AS Trump bahkan mengobarkan perang dagang dan memainkan gendang proteksionisme untuk melindungi perekonomian AS, berlawanan dengan “adat”nya sebagai pionir liberalisme ekonomi atau perdagangan bebas seperti digaungkan selama ini.

Cadangan devisa yang demikian besar, membuat China di bawah Xi Jinping memikirkan cara agar momentum pertumbuhan tidak lekas runtuh, dengan mengajukan proposal One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI) agar GDP China dapat sustain dalam jangka panjang. Langkah tersebut diharapkan membuat cadangan devisa China lebih produktif.  Juga, untuk mengatasi gejala over produksi industri domestik China.

Ide jalur sutera baru Jinping lewat konsep OBOR/BRI adalah dengan menawarkan pinjaman senilai miliaran dolar AS ke sejumlah Negara.

Sejak konsep OBOR/BRI diperkenalkan pada 2013, China telah sukses merangkul 65 negara di Asia, Afrika dan Eropa dengan total nilai kerjasama sebanyak 4,4 triliun dolar AS. Indonesia sendiri sebagai Negara berkembang diestimasi akan menerima pinjaman sebesar 69,256 juta dolar AS.

Konsep pinjaman di bawah payung OBOR/BRI diturunkan berupa proyek infrastruktur jalan, jembatan, bandara, pelabuhan laut dan fasilitas penunjang lain yang pembangunannya akan melibatkan perusahaan-perusahaan China.  

Namun, langkah agresif OBOR/BRI China telah mendapatkan kritik tajam lembaga-lembaga pemerhati ekonomi dunia, bahwa pinjaman dari China telah meningkatkan risiko debt trap bagi sejumlah Negara berkembang yang masuk dalam skema OBOR/BRI. Biaya proyek kereta China-Laos sebesar 6,7 miliar dolar AS yang hampir setengah dari PDB Negara-negara Asia Tenggara, juga kasus Negara Djibouti yang menghadapi risiko tinggi tekanan utang ketika utang Djibouti naik 50 persen dari PDB pada 2014 dan menjadi 85 persen pada 2016.

Begitu pula krisis currency yang melanda Zimbabwe dan Angola di Afrika serta apa yang dialami oleh proyek bandara di Srilanka telah memunculkan anggapan bahwa China telah menciptakan masalah utang besar yang sulit diselesaikan oleh negara-negara berkembang. Pun demikian halnya ketika Mahathir Mohammad akhirnya membatalkan sejumlah proyek infrastruktur yang dibiayai pinjaman China di Malaysia.  

Benarkah konsep pinjaman jangka panjang di bawah skema OBOR/BRI China akan menyebabkan risiko debt trap yang parah bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia? Benarkah pinjaman G to G dengan Jepang, akan lebih safe dari segi kualitas infrastruktur dan berbunga lebih rendah ketimbang pinjaman dari China?

Di Indonesia sendiri, terdapat belasan proyek di bawah skema OBOR/BRI China yang direncanakan menelan biaya 201,6 miliar dolar AS atau Rp2,700 triliun. Tiga proyek di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Kalimantan Utara dicadangkan untuk masuk dalam proyek OBOR/BRI. Termasuk diantaranya proyek Bandara baru Yogyakarta di Kulon Progo yang akan menelan biaya sekitar 700 juta dolar AS (Anita Munafia, 2017).

Dengan jumlah utang luar negeri yang telah mencapai angka Rp5.227 triliun, rasanya tidaklah keliru jika Indonesia harus juga berhati-hati terhadap risiko debt trap. Apalagi China saat ini telah menempati posisi ketiga terbesar negara pemberi pinjaman setelah Singapura dan Jepang, dengan jumlah pinjaman sebesar Rp252,5 triliun atau 17,47 miliar dolar AS per Oktober 2018. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…