Urun Biaya bagi Peserta BPJS Kesehatan, Yes or No?

Oleh: Ade Irwansyah

Selayaknya pendekar yang terdesak di tengah duel maut, pemerintah mengeluarkan jurus baru untuk mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jurus itu bukan aji Waringin Sungsang atau Tendangan Gledek, tapi urun biaya.

Kita tahu, sejak berdiri 2014 BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit. Hasil audit BPKP akhir tahun lalu BPJS kekurangan uang sampai Rp 10,98 triliun. Telah berbagai cara dilakukan untuk menambal bolong defisit ini. Pemerintah pernah mewacanakan cukai rokok untuk menalangi defisit, tapi kelanjutan ceritanya tak terdengar lagi. Yang paling anyar ya ini, urun biaya.

Yang dimaksud urun biaya, peserta BPJS bakal dikenakan tambahan biaya saat mendapat layanan kesehatan di luar premi yang harus ia bayar saban bulan. Untuk rawat jalan, besaran yang harus dibayarkan setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas A dan RS kelas B yaitu Rp 20 ribu. Sedangkan untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas C RS kelas D, dan klinik utama yaitu Rp 10 ribu. Ada tambahan biaya juga untuk rawat inap. Yakni membayar 10 persen atau paling tinggi sebesar Rp 30 juta.

Ketentuan baru di atas sudah diatur dalam beleid yang dikeluarkan Menteri Kesehatan. Lantas, apa jurus baru urun biaya ini bisa mengatasi defisit BPJS Kesehatan dan malah tidak menambah masalah baru?

Sebetulnya, pada praktik di lapangan, sering terjadi peserta BPJS Kesehatan terpaksa mengeluarkan uang lagi bila berobat, padahal sudah rutin bayar iuran tiap bulan. Biaya itu biasanya untuk obat yang diresepkan ternyata tak ditanggung BPJS maupun apotek rumah sakit berdalih obat yang diresepkan dokter tak ada di apoteknya sehingga pasien harus beli sendiri di luar RS. Bila urun biaya kini sudah diatur dalam beleid, bisakah praktek yang tak resmi yang selama ini terjadi dihilangkan?

Lewat aturan baru ini rentan terjadi pertentangan maupun konflik antara penyelenggara kesehatan (RS dan klinik) dengan peserta BPJS. Pihak RS berdalih mengutip biaya tambahan sesuai aturan baru, sedangkan peserta BPJS bisa emosi karena harus bayar lagi biaya ini-itu. Apalagi aturan ini tak menjamin ketersediaan obat di apotik rumah sakit atau klinik. Bagaimana agar konflik ini bisa dihindari?

Sebetulnya, alih-alih membikin aturan baru urun biaya, pemerintah punya opsi lain agar BPJS Kesehatan tak terus defisit: menaikkan iuran bulanan peserta mendekati nilai ekonomi antara layanan yang didapat dengan harga yang mesti dibayar. Kenapa opsi ini tak diambil? Apakah cara ini dianggap tak populer, apalagi jelang pilpres?

Sayang memang, sejak awal BPJS Kesehatan berdiri di era SBY pandangan soal lembaga itu di tengah masyarakat adalah, "Berobat untuk sakit apa saja, seberat apapun penyakitnya, biaya pengobatannya murah. Cukup bayar 20 ribuan rupiah per bulan." Belum lagi kebiasaan buruk sebagian orang yang malas bayar bila tak sedang sakit/berobat.

Bila pandangan seperti di atas yang terus tersimpan di benak masyarakat, sampai kapanpun BPJS Kesehatan bakal terus defisit. Artinya, urun biaya sebetulnya cuma solusi jangka pendek. Dan belum tentu bisa mengatasi defisiti. Malah bisa melahirkan masalah baru, mulai dari potensi konflik di RS/klinik dengan pasien sampai masyarakat yang kian malas membayar iuran.

Yang harus ditanamkan ke masyarakat adalah sejatinya BPJS Kesehatan sama dengan asuransi kesehatan lain. Ada premi yang harus dipatuhi serta ada batas layanan sesuai premi. Penting juga digalakkan kesehatan preventif agar pasien tak datang berobat ketika penyakitnya sudah parah. Kenapa penyuluhan ini tak dilakukan? Sampai kapan kebijakan tambal sulam dilakukan demi mengatasi defisit? (www.watyutink.com)

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…