Perilaku Pencari Rente

Defisit neraca perdagangan Indonesia (NPI) kini menjadi momok serius bagi pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya, kebijakan pemerintah selama ini ternyata ditengarai menghambat investasi dan perdagangan, dan perilaku pencari rente (rent seekers) selalu menghambat upaya peningkatan efisiensi nasional. Jika tahun ini tidak segera dibenahi, pemerintah akan menghadapi persoalan serupa pada tahun depan.

Berita defisit neraca perdagangan tahun 2018 yang mencapai US$ 8,57 miliar tenggelam oleh berbagai ingar-bingar isu debat paslon presiden dan wakil presiden, hingga maraknya perdagangan seks online yang melibatkan sejumlah artis. Defisit neraca perdagangan ini sangat serius karena sejumlah alasan. Pertama, inilah defisit neraca perdagangan terbesar sepanjang sejarah Republik. Kedua, selama tiga tahun berturut-turut, 2015 hingga 2017, neraca perdagangan Indonesia surplus, masing-masing US$ 7,7 miliar, US$ 9,5 miliar, dan US$ 11,8 miliar.

Ada alasan ketiga yang sangat krusial, yakni dampaknya terhadap rupiah dan perekonomian secara keseluruhan, membesarnya defisit neraca perdagangan, dan membengkakkan current account deficit (CAD) atau defisit neraca transaksi berjalan. Pada masa lalu, CAD berada dalam batas aman karena neraca perdagangan selalu positif. Akibat besarnya defisit neraca perdagangan, CAD tahun 2018 bisa menembus US$ 30 miliar atau 3,5% dari PDB. Neraca pembayaran yang sempat positif akan kembali negatif.

Ini semua isu yang memukul kurs rupiah. Jika saat ini nilai tukar menguat ke level Rp 14.100- Rp 14.300 per dolar AS, situasi ini sangat sementara. Penguatan rupiah lebih disebabkan oleh masuknya aliran modal jangka pendek ( capital inflow) yang mengincar sejumlah instrumen investasi portofolio. Dolar kini kembali keluar meninggalkan kandang menyusul sinyal bank sentral AS yang hanya menaikkan suku bunga dua kali atau 50 basis poin fed fund rate (FFR) ke level 3,00% tahun ini.

Dengan naiknya suku bunga deposito, bunga pinjaman yang sempat mencapai satu digit akan kembali di atas 10%. Jika Indonesia kembali ke rezim bunga tinggi, kegiatan investasi akan terganggu. Kenaikan bunga pinjaman, sedikit-banyaknya, menghambat menghambat kemajuan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Karena itu, diperlukan langkah serius, sistematis, dan konsisten menurunkan defisit dan membuat neraca perdagangan kembali surplus. Pertama, defisit neraca perdagangan migas tahun 2018 yang mencapai US$ 12,4 miliar tak boleh lagi terjadi. Defisit neraca perdagangan migas yang besar itu menelan habis surplus neraca perdagangan nonmigas yang pada periode yang sama mencapai US$ 3,8 miliar.

Penyebab utama membengkaknya defisit migas adalah impor BBM. Pada tahun 2018, impor minyak mentah dan BBM mencapai US$ 29,8 miliar, naik dari US$ 24,3 miliar tahun 2017. Lonjakan yang begitu besar adalah impor hasil minyak atau BBM yang pada tahun 2018 sebesar US$ 17,6 miliar, melonjak dari US$ 14,5 miliar tahun 2017.

Indonesia sudah menjadi net oil importer country. Tapi, impor BBM yang begitu besar benar-benar tidak normal. Impor BBM tahun 2018 melesat 21% dari setahun sebelumnya. Mengapa ada lonjakan impor BBM yang begitu besar ini? Meski tidak ada keterangan resmi pemerintah, kenaikan impor BBM yang amat besar adalah dampak langsung dari kebijakan pemerintah mempertahankan harga BBM bersubsidi dan juga sejumlah BBM nonsubsidi.

Tidak hanya itu. Kebijakan ini menyebabkan disparitas harga BBM yang sangat besar, dan celakanya, perbedaan harga itu dimanfaatkan para pengusaha hitam untuk mencari "uang mudah" di laut. Sebagian kapal ikan yang pernah dilarang operasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, kini kembali beroperasi. Kapal-kapal ini ditengarai menjual BBM di laut. Saatnya pemerintah menggunakan TNI Angkatan Laut untuk menyisir perairan Indonesia untuk memberantas penyelundupan BBM.

Rencana pemerintah untuk memanfaatkan batu bara cair dan menggunakan mobil listrik perlu segera direalisasikan. Mobil listrik sudah banyak digunakan di luar negeri. Penggunaan mobil listrik akan menambah permintaan terhadap energi listrik. Tren ini akan membantu pembelian listrik tenaga uap yang berasal dari bahan baku batu bara.

Kedua, mendongkrak ekspor nonmigas dengan memperkuat industri manufaktur serta sektor mineral dan batu bara (minerba). Ketika harga komoditas di pasar global menurun, Indonesia harus meningkatkan ekspor produk industri, mulai dari industri hasil pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, hingga industri manufaktur. Untuk menopang industri manufaktur, Indonesia perlu memiliki industri dasar dan barang modal.

BERITA TERKAIT

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…