Infrastruktur Jangan Jadi "Penghisap Darah"

Oleh: Sarwani

Presiden Joko Wdodo langsung tancap gas membangun infrastruktur sejak tahun pertama pemerintahannya. Sejumlah proyek yang mangkrak seperti jalan tol Cikopo-Palimanan di Jawa  Barat, 3 jembatan yang terletak di Sulawesi Utara , Maluku, dan Kalimantan Barat, serta  3 bendungan dilanjutkan pembangunannya.

Selain menyelesaikan proyek infrastruktur yang  mangkrak, Jokowi, panggilan akrabnya, juga menjalankan proyek infrastruktur baru, seperti  pembangunan 13 bendungan, penyediaan sejuta rumah,  jalan perbatasan, jalan kawasan di Indonesia timur, kawasan perbatasan Papua, jalan tol trans Jawa dan trans Sumatera.

Jokowi menyatakan mulai tahun pertama pemerintahannya dia membangun fondasi yang kokoh bagi Indonesia yang lebih maju.  Untuk mencapainya, dia memfokuskan pada percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan produktivitas, serta daya saing bangsa.

Pembangunan infrastruktur tidak hanya ditujukan untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan dengan negara lain, melainkan juga untuk menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru yang mampu memberikan nilai tambah bagi daerah-daerah di seluruh penjuru Tanah Air.

Demi infrastruktur ini Jokowi harus ingkar janji untuk tidak berutang. Di tengah cekaknya APBN, pemerintah menerima tawaran utang untuk mendanai membangunnya. Meskipun begitu, pemerintah mengklaim saat ini utang tersebut masuk dalam kategori produktif, karena dipakai untuk membangun infrastruktur.

Namun belakangan Bank Dunia mengkritik pembangunan infrastruktur yang ‘ugal-ugalan’. Dalam satu laporan yang bertajuk Infrastructure Sector Assessment Program yang dibuat pada Juni 2018, lembaga tersebut memberikan pandangan mengenai proses perencanaan, pembiayaan, maupun pembangunan infrastruktruktur pada masa pemerintahan Jokowi.

Laporan tersebut dengan gamblang membahas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait infrastruktur mulai tahun 2015.  Lembaga donor tersebut mengkritisi kualitas proyek infrastruktur yang rendah, pembangunan infrastruktur yang didominasi BUMN, hingga tarif listrik yang dinilai terlampau murah.

Bank Dunia menilai pembangunan infrastruktur berkualitas rendah, tidak memiliki kesiapan, dan tak terencana secara matang, tidak diprioritaskan berdasarkan kriteria atau seleksi yang jelas. Pilihan metode pengadaan melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), business to business (B2B), atau lewat pembiayaan publik, misalnya, diputuskan terlalu dini sebelum analisis mendalam. Berbeda dengan negara lain yang mendahulukan proses studi dan analisis bertahap, sebelum akhirnya mengambil keputusan terkait skema pengadaan dan pembiayaan yang tepat.

Jeweran Bank Dunia ini tidak membuat pemerintah menghentikan pembangunan infrastruktur. Pemerintah hanya menunda pembangunan sejumlah proyek karena derasnya barang-barang impor masuk untuk proyek infrastruktur telah membuat neraca transaksi berjalan Indonesia oleng.

Pemerintah justru makin menggenjot pembangunan infrastruktur. Anggaran infrastruktur terus meroket dalam 5 tahun terakhir. Pada APBN-P 2015 dialokasikan dana sebesar Rp 290 triliun, naik menjadi Rp 317,1 triliun 2016, naik lagi menjadi Rp 387,3 triliun pada 2017, bertambah kembali pada 2018 senilai Rp 410,4 triliun, dan dalam RAPBN 2019 mencapai Rp 420,5 triliun.

Infrastruktur memang sudah menjadi suatu keniscayaan, tetapi untuk siapa ia dibangun jika kemudian di stasiun kereta, di pinggir jalan tol yang mulus lebih banyak berdiri Starbucks Coffee, Burger King, McDonald’s, Sushi Tei, KFC, Domino’s Pizza, Pizza Hut, Dunkin’ Donuts, Sogo, Debenhams, IKEA, Lotte, Lu Lu, dealer mobil Toyota, Honda, Daihatsu, Suzuki, Wuling, dan seabrek merek asing lain.  

Mestinya pembangunan infrastruktur tersebut didahului dengan membangun daerah, memperkuat ekonomi kerakyatan, meningkatkan kapasitas kelembagaan, mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), menciptakan entrepreneur tangguh, menyiapkan sumber daya manusia berketrampilan, sehingga ketika jalan tol dibuka, merekalah yang mendapatkan manfaat pertama, para anak bangsa, bukan asing.

Sekuen pembangunan yang terbalik-balik ini membuat pembangunan infrastruktur justru menjadi alat penghisap darah ekonomi daerah bagi perusahaan asing. Melalui gerai-gerainya, asing mendapatkan keuntungan dan membawanya ke luar negeri melalui repatriasi modal. Apakah hal ini akan dibiarkan terjadi? (www.watyutink.com)

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…