Rendahnya Produktivitas Tebu Picu Tingginya Harga Gula

NERACA

Jakarta – Rendahnya produktivitas tebu dapat dilakukan untuk menekan impor gula. Saat ini, harga gula lokal tiga kali lebih mahal dibandingkan harga gula di pasar internasional. Tingginya harga gula lokal mengindikasikan adanya biaya produksi yang tinggi di tingkat produsen lokal.

Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektar di tahun 2017. Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lainnya, seperti Brasil yang sebesar 68,94 ton per hektar dan India yang sebesar 70,02 ton per hektar dalam periode yang sama.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, salah satu penyebab rendahnya produktivitas gula lokal adalah banyak pabrik gula di Indonesia yang sudah sangat tua. Pabrik-pabrik gula ini perlu mendapatkan revitalisasi mesin produksi. Belum lagi mempertimbangkan kualitas tebu yang ditanam yang dipengaruhi oleh faktor geografis dan iklim lokal.

 “Menekan impor gula bukan pekerjaan mudah. Menekan impor gula dapat dilakukan apabila produksi dalam negeri sudah mencukupi permintaan dan tersedia pada harga yang terjangkau di pasar. Tentunya dengan memiliki komoditas gula yang terjangkau dan tersedia secara lokal, baik produsen maupun konsumen sama-sama beruntung,” jelasnya, disalin dari siaran resmi.

Berdasarkan data USDA dan BPS pada 2009-2018, harga gula yang beredar di pasaran (gula kristal putih) menunjukkan perbedaan harga dimana harga produk domestik hampir tiga kali lebih mahal dari harga internasional. Dengan kondisi ini, upaya menekan gula impor tentunya dapat berpotensi mengurangi peredaran gula di pasar, yang pada akhirnya bisa meningkatkan harga menjadi jauh lebih mahal lagi. Pada akhirnya, konsumen dan unit usaha UMKM yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan menanggung kerugian.

“Mempertimbangkan penekanan impor gula bukan merupakan hal yang salah, namun sebaiknya yang patut diutamakan adalah peningkatan daya saing pabrik gula Indonesia dan kebijakan pemerintah yang mendorong modernisasi pabrik gula dapat menjadi salah satu langkah awal yang patut dipertimbangkan untuk menekan harga gula,” tandasnya.

Sementara itu peneliti agro ekonomi dari Institut Pertanian Bogor Agus Pakpahan mengatakan upaya revitalisasi pabrik gula masih terhambat oleh lahan tebu yang makin terbatas. "Ini tidak terlepas dari ketersediaan bahan baku. Revitalisasi hasilnya nol kalau tidak ada yang digiling," kata Agus dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, disalin dari Antara.

Agus mengatakan keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebu saat ini tidak homogen sehingga terdapat tempat yang kelebihan pasokan, namun juga ada yang kekurangan. "Secara umum, kekurangan bahan baku karena terjadi penurunan luas area tanam," ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, luas perkebunan tebu terlihat menyusut, karena lahan tebu pada 2014 yang tercatat mencapai 478.108 hektare, mengecil menjadi 453.456 hektare pada 2017.

Selain itu, menurut Agus, kebijakan yang ada saat ini tidak mampu membuat para petani bergairah untuk menanam tebu, sehingga tidak mengherankan, apabila pabrik gula melakukan impor "raw sugar" untuk mengoptimalkan utilitas pabrik.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Salamuddin Daeng juga mengatakan impor gula untuk menutupi pasokan membuat para petani malas menanam tebu.

"Mereka malas menanam tebu karena harganya murah, jadi kalau pemerintah mau membenahi masalah gula di beberapa bulan terakhir, harus mau belajar dari sejarah, sebetulnya politik gula yang harus diperbaiki," ujarnya.

Menurut dia, pembenahan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya kepada perbaikan pabrik gula, namun juga disertai oleh perlindungan bagi petani tebu. "Perbaikan atau pembangunan tidak akan efisien, karena petani tidak diberikan subsidi dan perlindungan. Di Indonesia, bentuk bansos itu semua ke petani, jadi lebih ke politis, dan tidak berpengaruh ke perkembangan pertanian," jelasnya.

Sebelumnya, pengamat ekonomi Revrisond Baswir mengingatkan pentingnya revitalisasi pabrik gula secara menyeluruh untuk mengatasi persoalan harga gula lokal yang tinggi dan tidak laku di pasar. "Revitalisasi pabrik kelihatan setengah hati, seharusnya revitalisasi menyeluruh," kata Revrisond dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, disalin dari Antara.

Revrisond menjelaskan pabrik gula yang sudah tua dan tidak lagi efisien menghasilkan gula dalam negeri yang mahal dan harganya lebih tinggi dari gula impor.

BERITA TERKAIT

Pertamina Patra Niaga Siap Salurkan BBM Subsidi Sesuai Kuota

NERACA Jakarta – Besaran kuota subsidi BBM dan LPG pada tahun 2024 telah ditetapkan. Didasarkan pada SK Kepala BPH Migas…

2024 Pertamina Siap Salurkan Subsidi Energi Tepat Sasaran

NERACA Jakarta – Pertamina siap menjalankan penugasan Pemerintah menyalurkan subsidi energi 2024 tepat sasaran. Melalui PT Pertamina Patra Niaga sebagai…

Pemurnian Nikel di Kalimantan Timur Terima Tambahan Pasokan Listrik - TINGKATKAN HILIRISASI

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong industri untuk meningkatkan nilai tambah melalui…

BERITA LAINNYA DI Industri

Pertamina Patra Niaga Siap Salurkan BBM Subsidi Sesuai Kuota

NERACA Jakarta – Besaran kuota subsidi BBM dan LPG pada tahun 2024 telah ditetapkan. Didasarkan pada SK Kepala BPH Migas…

2024 Pertamina Siap Salurkan Subsidi Energi Tepat Sasaran

NERACA Jakarta – Pertamina siap menjalankan penugasan Pemerintah menyalurkan subsidi energi 2024 tepat sasaran. Melalui PT Pertamina Patra Niaga sebagai…

Pemurnian Nikel di Kalimantan Timur Terima Tambahan Pasokan Listrik - TINGKATKAN HILIRISASI

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong industri untuk meningkatkan nilai tambah melalui…