Produktivitas Utang Negara

Persoalan utang luar negeri Indonesia tidak terlepas dari perjalanan siklus kepemimpinan dari masa ke masa. Pemerintahan Jokowi-JK akhirnya kini menanggung jumlah utang yang cukup signifikan. Meski demikian, Menkeu Sri Mulyani Indrawati tetap optimis mampu mengelola utang negara secara profesional dan akuntabel.

Berdasarkan data Bank Indonesia hingga Oktober 2018, total utang luar negeri Indonesia telah mencapai US$360,3 miliar, atau ekuivalen dengan Rp5.227,23 triliun. Jumlah itu naik hanya 0,45% dibandingkan utang luar negeri pada Desember 2017.

Tentu saja pertumbuhan utang itu akan menjadi beban bagi kepemimpinan Indonesia berikutnya. Siapapun presidennya dipastikan harus mampu menanggung pengelolaan utang, asalkan sang pemimpin tidak melakukan pelanggaran atas pengelolaan utang tersebut, tidak perlu takut. Utang luar negeri Indonesia umumnya digunakan untuk membangun infrastruktur, biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Banyak pihak menilai kondisi utang luar negeri Indonesia dirasakan sudah teramat besar, sehingga diperlukan upaya pengurangan utang sekaligus membuat utang yang ada lebih efektif dan efisien.

Seperti menurut peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus, utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah belum menunjukan tren produktivitas, meskipun dalam selama pemerintahan Jokowi-JK, terlihat jumlah utang luar negeri terus meningkat. “Berbagai survei tentang ekspektasi ekonomi tidak mengalami akselerasi pertumbuhan yang sesuai harapan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari 5%,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Alasannya, pemerintah dinilai menggunakan utang untuk pembangunan sektor infrastruktur juga tak membuahkan hasil yang maksimal, salah satunya sektor padat karya. Setidaknya, harus ada sektor yang produktivitasnya meningkat seperti sektor yang bisa meningkatkan nilai tambah, tenaga kerja, dan sebagainya.

Meski demikian, Heri mengakui dampak pembangunan infrastruktur memang akan terlihat dalam jangka panjang, hanya saja saat ini pembangunan infrastruktur yang terlihat masif belum direspon secara positif oleh pelaku usaha.

Hal yang sama juga dilontarkan ekonom senior UI Faisal Basri. Menurut dia, produktivitas utang Indonesia memang sangat rendah. Pemerintah selalu menggembar-gemborkan bahwa utang dilakukan demi membangun infrastruktur, namun Faisal mendapati ternyata sebagian besar utang justru digunakan untuk melunasi cicilan utang pokok dan bunga.

Faisal mengungkapkan kenaikan utang ini tak hanya disebabkan oleh pembangunan infrastruktur secara besar-besaran di Indonesia. Ada diantaranya untuk belanja infrastruktur, tapi tidak yang paling besar. “Jadi tidak benar jika utang digunakan seluruhnya untuk infrastruktur,” ujarnya.

Utang Indonesia katanya paling banyak digunakan untuk membayar bunga dari utang yang lalu. Data kenaikan untuk utang yang digunakan membayar bunga hutang pun naik 6% yakni dari 11,1% menjadi 17,1%. Dalam ekonomi hal ini diistilahkan defisit keseimbangan primer, dimana APBN terpaksa defisit untuk menutupi utang yang jatuh tempo. Sementara prosentase utang yang digunakan untuk belanja infrastruktur justru hanya mengalami kenaikan sebesar 1%, naik dari 12,2% menjadi 13,2%.

Berdasarkan data BI (Oktober 2018), total sektor terbesar utang luar negeri pemerintah dan bank sentral paling besar digunakan untuk administrasi pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial wajib yakni mencapai US$125,76 miliar. Di rekening inilah sebenarnya cicilan pokok dan bunga utang luar negeri itu berada. Sementara untuk konstruksi hanya memakan biaya US$7,70 miliar. Sedangkan untuk jasa keuangan dan asuransi lumayan besar yakni mencapai US$21,15 miliar atau tumbuh 10,56% dibandingkan posisi Desember 2017.

Melihat data tersebut, memang produktivitas utang masih dipertanyakan. Manajemen utang pemerintah juga tidak menunjukkan adanya prioritas pada pembangunan infrastrukur. Bahkan belakangan pemerintah menghentikan proyek infratruktur besar karena kekhawatiran rupiah melemah kembali, karena konten impor infrastruktur besar cukup tinggi. Untuk itu, pemerintah perlu menata kembali pemanfaatan APBN yang efektif, efisien dan kredibel. Sehingga APBN benar-benar survive untuk menopang perekonomian.

 

BERITA TERKAIT

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…