Lagi, Impor Gula

Oleh: Nailul Huda

Peneliti Indef

 

Dalam satu minggu terakhir pembahasan mengenai gula kembali mencuat. Pasalnya adalah impor gula yang masih dinikmati oleh segelintir orang walaupun dengan mekanisme lelang. Perusahan yang mengambil keuntungan ya perusahan yang itu-itu saja. Selisih harga dengan harga raw sugar internasional yang menjadi dua kali lipat lebih murah menjadikan banyak pemain importir yang tertarik dalam bisnis gula. Bahkan jikapun sudah diolah di dalam negeri, keuntungan dari bisnis impor gula masih sangat besar.

Dikutip dari data yang diterbitkan pemerintah, gula salah satu komoditas yang memberikan potensi keuntungan tinggi. Walaupun tingkat konsumsi gula menurun, hipotesa penulis karena perubahan gaya hidup, tapi harga gula cenderung meningkat terlebih akhir-akhir ini. Kementerian Pertanian mencatat, konsumsi per kapita gula pasir hanya 6,134 kg per tahun. Angka ini turun dari konsumsi pada 2005 sebesar 8,885 kg per tahun. Namun harga gula seolah tidak menghiraukan penurunan permintaan gula nasional. Terlebih beberapa bulan terakhir harga gula naik sangat tajam yang menyebabkan industri gula terasa lebih ‘manis' bagi pemburu rente.

Impor gula yang sangat menggiurkan ini membuat tingginya produsen surplus yang dinikmati oleh produsen gula ataupun produsen importir gula. Konsumen kehilangan surplusnya terlalu besar, dan pemerintah tidak peduli akan hal itu. Bahkan membuka keran impor dan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) terlalu tinggi dari harga raw sugar internasional. Pemerintah menetapkan HET di angka Rp12.500 per kg. Dengan harga raw sugar internasional berada di kisaran angka Rp5.000 hingan Rp6.000 maka masih terlalu banyak selisih harga yang bisa dinikmati oleh importir. Importir gula mempunyai banyak space untuk menaikkan harga hingga mencapai HET. Jadi penurunan harga yang terjadi setahun terakhir sangat semu karena harga seharusnya bisa lebih rendah.

Pabrik gula nasional pun sudah banyak yang tidak efisien dengan penggunaan mesin-mesin yang sudah usang. Akibatnya produktivitas sudah tidak lagi tinggi. Pabrik gula seperti ini kebanyakan milik BUMN dimana tidak ada peremajaan mesin-mesin produksi. Selain itu, sistem lelang di pasar tebu juga sangat rentan dengan permainan harga antar pemain lelang. Petani dipaksa untuk menuruti harga yang diinginkan tengkulak meskipun sudah ada mekanisme lelang di pasar tebu.

Perlu kerja keras elemen pemerintah dalam memperbaiki industri gula nasional. Namun yang terpenting tentu saja di tingkat kebijakan. Menteri Perdagangan harus hati-hati dalam pembuatan kebijakan mengenai impor gula ini. Jangan sampai kebijakannya menguntungkan segelintir orang. Atau bisa jadi Menteri Perdagangan melakukan ini dengan sengaja demi memberikan keuntungan bagi beberapa pihak atau dirinya sendiri. Namun hal ini tentu yang bisa jawab adalah Mendag itu sendiri.

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…