KONDISI 2018 LEBIH BURUK DIBANDINGKAN SURPLUS 2017 - BPS: Neraca Perdagangan Indonesia Defisit US$8,57 Miliar

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan neraca perdagangan Indonesia (NPI) mengalami defisit hingga US$8,57 miliar sepanjang Januari-Desember 2018. Angka defisit ini berbanding terbalik dari kondisi neraca perdagangan pada 2017 yang meraih surplus tinggi mencapai US$11,84 miliar. Ini merupakan kinerja perdagangan terburuk pada 2018.

NERACA

Menurut Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mencatat defisit ini setidaknya merupakan kinerja perdagangan terburuk dalam lima tahun terakhir. Tercatat, kinerja perdagangan masih surplus US$8,78 miliar pada 2016, surplus US$7,67 miliar (2015), defisit US$2,19 miliar (2014), dan defisit US$4,06 miliar pada 2013. "Defisit ini cukup dalam bila dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya," ujarnya di Jakarta, Selasa (15/1).

Defisit tersebut terjadi karena kinerja ekspor sepanjang tahun lalu cuma senilai US$180,06 miliar, sedangkan kinerja impor mencapai US$188,63 miliar. Dari sisi pertumbuhan, ekspor hanya tumbuh 6,65% dibandingkan dari tahun lalu sebesar US$168,83 miliar. Sedangkan impor tumbuh lebih tinggi hingga 20,15% dibandingkan 2017 sebesar US$156,99 miliar. "Share impor nonmigas terbesar pada 2018 berasal dari mesin-mesin/pesawat mekanik mencapai 17,12% dan mesin atau peralatan listrik sebesar 13,5%,” ujarnya.  

Sementara sumbangan ekspor tertinggi berasal dari bahan bakar mineral mencapai US$24,59 miliar atau 15,12% dari porsi ekspor keseluruhan dan lemak minyak hewan nabati US$20,35 miliar atau setara 12,51%.  

Berdasarkan negara tujuan,  ekspor tertinggi Indonesia ditujukan ke China mencapai US$24,39 miliar, AS US$17,67 miliar, dan Jepang US$16,31 miliar. Sedangkan untuk impor tertinggi berasal dari China US$45,24 miliar, Jepang US$17,94 miliar, dan Thailand US$10,85 miliar.

Khusus Desember 2018, BPS mencatat kinerja perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$1,1 miliar. Tercatat, ekspor turun 4,89% menjadi US$14,18 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ekspor terjadi karena ekspor nonmigas turun 8,15% menjadi US$12,43 miliar. Sementara ekspor migas meningkat 27,34% menjadi US$1,75 miliar.

"Penurunan ekspor nonmigas terjadi pada komoditas biji kerak dan logam, bahan bakar mineral, besi dan baja. Sementara peningkatan ekspor migas ditopang oleh gas yang naik 51,71%," tutur dia.  

Lebih rinci, penurunan ekspor nonmigas disumbang oleh industri pertanian sebesar 6,72% menjadi US$300 juta. Hal ini karena ada penurunan ekspor untuk komoditas biji kakao, mutiara, dan cengkeh. Kemudian industri pengolahan turun 6,92% menjadi US$10,01 miliar. Penurunan ekspor industri ini terjadi pada komoditas besi baja, kimia dasar organik, kendaraan bermotor, dan kimia dari sumber pertanian.

Kemudian, ekspor industri pertambangan turun 13,73% menjadi US$2,12 miliar karena komoditas, seperti biji tembaga, liknit, batu bara, dan biji logam lainnya. Berdasarkan negara tujuan, penurunan ekspor terjadi ke China sebesar minus US$365,3 juta, Jepang minus US$198,2 juta, dan Malaysia minus US$167,4 juta. Sementara ekspor masih meningkat tinggi ke Italia senilai US$90,3 juta, Singapura US$61,7 juta, dan Amerika Serikat US$29 juta.

Untuk impor Desember 2018, kinerja impor turun 9,6% menjadi US$15,28 miliar. Hal ini terjadi karena ada penurunan impor migas sebesar 11,45% menjadi US$1,97 miliar dan impor nonmigas turun 5,14% menjadi US$13,31 miliar.

Kecuk mengatakan, penurunan impor terjadi pada kelompok barang bahan baku/penolong sebesar 13,49% menjadi US$11,13 miliar. Sementara impor kelompok barang konsumsi masih naik sekitar 1,86% menjadi US$1,46 miliar dan kelompok barang modal naik 3,36% menjadi US$2,69 miliar.

"Penurunan impor bahan baku karena petroleum oil dan barang kimia. Sementara barang konsumsi naik pada impor buah-buahan, seperti anggur, apel, dan daging beku, ini seiring persiapan libur akhir tahun," ujarnya.  

Berdasarkan negara asal, penurunan impor terjadi dari Australia turun US$217,1 juta, Jepang minus US$203,9 juta, dan Thailand minus US$117,2 juta. Sedangkan peningkatan impor datang dari China sebesar US$242,9 jutam Ukraina US$50,6 juta, dan Pakistan US$49,7 juta.

BPS juga mencatat nilai ekspor Indonesia khusus pada Desember 2018 hanya US$ 14,18 juta, turun 4,89% dibandingkan November 2018 yang tercatat US$ 14,43 miliar. Sedangkan bila dibandingkan periode sama tahun sebelumnya juga alami penurunan sebesar 4,62%.  

"Penurunan ekspor Desember 2018 dibanding November 2018 disebabkan oleh menurunnya ekspor non-migas sebesar 8,15% yaitu dari US$ 13.534,4 juta menjadi US$ 12.430,9 juta," ujarnya.

Menurut Kecuk, penurunan terbesar ekspor non migas pada Desember 2018 dibandingkan November, terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$ 278,7 juta atau sebesar 56,25%. Sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada perhiasan atau permata sebesar US$ 84,9 juta atau 27,41%.

Meski ekspor non migas mengalami penurunan, sektor migas justru mengalami kenaikan sebesar 27,34%. Yaitu dari US$ 1.371,4 juta menjadi US$ 1.746.4 juta. "Peningkatan ekspor migas disebabkan oleh meningkatnya ekspor gas sebesar 51,57% menjadi US$ 1.322,5 juta," katanya.

BPS juga mencatat untuk beberapa sektor migas lainnya justru mengalami penurunan seperti pada hasil minyak turun 9,43% menjadi USS 107 juta dan ekspor minyak mentah turun 16,77% menjadi US$ 316,9 juta.

Secara kumulatif ekspor Januari hingga Desember 2018 mencapai US$ 180,06 miliar atau naik 6,65% dibanding periode yang sama tahun 2017. Demikian juga ekspor kumulatif nonmigas mencapai US$ 162,65 miliar atau meningkat 6,25%.

Penduduk Miskin

Pada bagian lain, BPS mencatat jumlah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada September 2018 mencapai 25,26 juta orang atau sebesar 9,66%, menurun 0,28 juta orang dibandingkan posisi Maret 2018.

MenurutKecuk, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap turunnya tingkat kemiskinan di Indonesia. Salah satunya adalah adanya kenaikan upah riil buruh tani dan nilai tukar petani (NTP) sepanjang Maret-September 2018.

Dia merinci, nominal rata-rata upah buruh tani pada September 2018 baik sebesar 2,07% dibanding Maret 2018 yaitu dari Rp 51.580 menjadi Rp52.665. "Secara riil upah buruh tani per hari pada September 2018 naik 1,60% dibanding Maret 2018. Sementara NTP naik sebesar 1,21% dibanding pada Maret 2018," ujarnya.

Selain itu faktor lain yang menekan tingkat kemiskinan adalah, laju inflasi yang terjaga. Selama periode Maret-September 2018 BPS mencatat inflasi sebesar 0,94%. Harga eceran beberapa komoditas pokok juga mengalami penurunan. "Secara nasional beras turun 3,28%, daging sapi 0,74%, minyak goreng 0,92% dan gula pasir mengalami penurunan 1,48%,” ujarnya. BPS mencatat, turunnya kemiskinan juga mengubah batas garis kemiskinan menjadi Rp 410.670  dari sebelumnya Rp 401.220 per kapita.bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…