Infrastruktur Berkualitas Rendah - Oleh ; EdyMulyadi, Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Proyek infrastruktur di Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak memiliki kesiapan. Bukan itu saja, proyek yang jadi kebanggaan Presiden JokoWidodo itu juga tidak terencana secara matang.

Kritik lumayan pedas  ini tentang infrastruktur datang dari Bank Dunia, pekan silam. Jadi, bukan hoax. Ini resmi, karena catatan kritis itu dimuat dalam Dalam laporan bertajuk Infrastructure Sector Assessment Program yang dirilis pada Juni 2018.

Masih dari laporan tersebut, Bank Dunia menjelaskan proyek infrastruktur Indonesia tidak diprioritaskan berdasarkan criteria atau seleksi yang jelas. Reputasi proyek di Indonesia berkualitas rendah dan tidak direncanakan dengan baik.  

Sebetulnya,  tanpa adanya laporan Bank Dunia itu pun, rakyat sudah lama punya pendapat senada. Sebagai konsumen (khususnya pengguna jalan), yang pertama rakyat rasakan adalah tariff tolnya mahal sekali. Kesan mahal kian nyata saat dibandingkan dengan tol yang dibangun era Presiden-presiden sebelumnya. Di kalangan supir truk, bahkan sempat tenar istilah "TolJokowi" untuk merepresentasikan kelewat mahalnya tariff jalan-jalan tol yang diabangun.

Selain itu, di kalangan rakyat diam-diam bersemayam kekhawatiran sekaligus ketakutan. Pasalnya, rakyat tau persis, pembangunan infrastruktur yang jor-joran itu dibiayai dar iutang. Inilah yang menjelaskan mengapa utang yang dibuat rezim Jokowi bertambah Rp1.600 triliun hanya dalam tempo kurang dari empat tahun.

Kendati syahwat menjaring utang sudah gila-gilaan, toh tetap saja Pemerintah babak-belur dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur yang super ambisius. Itulah sebabnya, Pemerintah menugaskan BUMN untuk mengambil alih beban tersebut. Karenanya boleh dikatakan pengerjaannya full diserahkan kepada BUMN-BUMN. Akibatnya, puluhan ribu pengusaha konstruksi nasional terkapar. Mereka gulung tikar karena tidak kecipratan pekerjaan.

Kalau pun anak-anak bangsa ini mendapat remah-remah proyek sebagai sub kontraktor, tidak berarti senyum mereka bias terkembang lebar. Pasalnya, term pembayaran dari perusahaan pelat merah selaku main contractor sering telat, hingga berbulan-bulan. Kalau sudah begini, tentu sangat menganggu cash flow perusahaan. Ujung-ujungnya sama juga, bangkrut!

Kisah pilu kontraktor nasional ini sama sekali lagi-lagi bukan hoax. Adalah Wakil Ketua Umum III Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) Bambang Rahmadi yang membocorkan kepiluan tersebut. Menurut dia, di era Jokowi, jumlah anggota Gapensi terjun beas. Jika sebelumnya berkisar 80.000 ribu, kini susut hanya tinggal sekitar 35.000.

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…