Gerakan Reforma Agraria Perlu Progresif Revolusioner

NERACA

Jakarta-Kalangan pemerhati pertanian mengingatkan, walau sertifikasi tanah merupakan political will dalam pelaksanaan reforma agraria, perlu memperhatikan dampak yang mengarah ke liberalisasi jika kondisi tanah menjadi tidak produktif akan jatuh kepada pemilik modal besar. Untuk itu, upaya sertifikasi tanah jangan terbatas hanya untuk memperjelas posisi tanah dan mengurangi konflik dengan keluarga atau tetangga.  

“Bagi-bagi sertifikat saat ini sebenarnya merupakan bagian akhir dari reforma agraria, namun tidak mudah melaksanakan reforma agraria secara menyeluruh. Karena reforma agraria hanya dapat dijalankan dalam pemerintahan yang progresif revolusioner,” ujar Ahmad Rifai, Ketua Umum Serikat Tani Nasional dalam paparannya di Jakarta, Sabtu (12/1).

Menurut dia, dalam catatan sejarah sejak UU Pokok Agraria, tantangan dalam menjalani reforma agraria tidaklah semudah sebagaimana bunyi-bunyian atau teori yang normatif, pemerintah saat ini menjalankan reforma agraria dengan pendekatan yang soft, moderat dan mulai dari pinggir untuk menghadapi penguasaan sumber daya agraria oleh segelintir orang.

Rifai mengatakan, dalam pelaksanaan reforma agraria pentingnya kekuatan rakyat, tentara dan aparatur dalam mengawalnya secara ideal seharusnya reforma agraria di bawah koordinasi Kemenko/Kementerian tersendiri. “Kami memahami Peraturan Presiden No. 86/2018 yang menempatkan Kemenko Perekonomian selaku koordinator diikuti Kementerian lain dibawahnya dan Pelaksana TOR oleh BPN/Kementerian Air dan Perhutanan Sosial oleh KLHK,” ujarnya.

Pembicara lainnya, Susilo Eko Prayitno, Bendum Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia, mengungkapkan persoalan agraria yang ada saat ini merupakan buah dari kelalaian kolektif yang terjadi pada masa silam. Terutama dengan tidak dilaksanakannya UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan perintah negara ini hanya tersimpan rapi tanpa kajian dan implementasi sejak 1967.

Menurut dia, stagnasi atas pelaksanaan UUPA/1960 seringkali dipertentangkan dengan kepentingan yang dikandung dalam UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Oleh karenanya, penyelenggara negara saat ini dapat disebut mempunyai *hutang kepada rakyat* yang harus ditebus melalui reforma agraria.

Susilo mengatakan, semua pihak tanpa kecuali harus bekerja keras dan lebih kooperatif untuk mewujudkan amanat negara ini menjadi pembentukan aset nasional yang dikelola oleh rakyat hingga menciptakan nilai tambah, meningkatkan keberdayaan dan turut membangun perekonomian. Banyak hal yang harus diselesaikan dan banyak pihak harus turut mengambil peran dan tanggung jawab, agar rekonstruksi sosial melalui reforma agraria berjalan lebih baik dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keterbatasan yang dimiliki oleh para penerima hak kelola atas tanah, misalnya dalam program perhutanan sosial, sebagai bagian dari Reforma Agraria, tentu membutuhkan pendampingan intensif dan harus dilakukan interaksi lebih dalam agar sumberdaya yang dikelola dapat termanfaatkan.

Dia mengingatkan, pada dasarnya reforma agraria itu bukan semata-mata membagikan tanah-lebih yang dikuasai Negara kepada rakyat atau pembuatan sertifikat tanah belaka, melainkan keseluruhan kegiatan untuk membentuk aset produktif yang dapat dijadikan sumber penghidupan, menghasilkan nilai tambah ekonomi dan sosial, serta menjadi bagian dari proses pembentukan karakter bangsa dalam kehidupan bernegara.

Acara yang diselenggarakan dewan pimpinan nasional Keluarga Besar Marhaenis itu juga menampilkan narasumber lain: Revrisond Baswir (pengamat ekonomi UGM), Suwidi Tono (pemerhati pertanian IPB), dan Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia) dengan moderator Cahyo Gani Saputro (Sekjen Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia).

Revrisond dalam pengantar diskusi menyitir apa yang disampaikan Bung Karno mengenai kaitan antara revolusi Indonesia dengan reforma agraria. Menurut dia, Bung Karno dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan landreform adalah bagian yang tidak terpisahkan dari revolusi Indonesia. Sebagaimana dikatakannya, “Revolusi Indonesia tanpa landreform sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong-besar tanpa isi,” ujarnya.

Menurut Suwidi Tono,  kepemilikan lahan rata-rata petani (setelah 1970 – 2013) misal di Jepang sebanyak 4,5 menjadi 16,5 Ha, Korsel  dari 0,8 menjadi 1,0 Ha, Brasil dari 59,4 menjadi 72,8 Ha, Denmark            11,6 menjadi 22 Ha, Thailand 3,2 Ha, Amerika Serikat  200 Ha (total 5,2 juta petani atau 2 persen populasi) dan di Indonesia 0,9 Ha menjadi 0, 7 Ha  (total 38 juta petani), dimana 55% petani rata-rata kepemilikan hanya 0,3 Ha. mohar

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…