Penerimaan Pajak UKM Belum Optimal

 

 

NERACA

 

Jakarta - Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, potensi penerimaan pajak usaha kecil dan menengah (UKM) belum dioptimalkan oleh otoritas pajak. "Kontribusi pajak UKM itu kan sekitar Rp6 triliun, masih sangat kecil dibandingkan penerimaan yang sudah Rp1.300 triliun," kata Yustinus di Jakarta, Selasa (8/1).

Secara hitungan kasar, sebanyak 50 juta pelaku UKM yang didata oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berkontribusi terhadap 60 persen PDB atau sekitar Rp8.000 triliun. "Kalau itu didekati dengan 1 persennya saja itu Rp80 triliun, jadi 0,5 persennya kan harusnya Rp40 triliun. Berarti yang sekarang ter-"capture" itu sepertujuh atau sekitar 15 persen dari potensi yang ada," kata Yustinus.

Pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang merelaksasi tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi wajib pajak usaha kecil menengah (UKM), dari 1 persen menjadi 0,5 persen dan berlaku sejak 1 Juli 2018. Pelaku UKM yang bisa memanfaatkan PPh final dengan tarif khusus ini adalah yang memiliki omzet maksimal Rp 4,8 miliar setahun. Menurut Yustinus, belum optimalnya penerimaan pajak UKM dipengaruhi banyak faktor, terutama masih banyaknya jumlah pelaku UKM yang belum terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak. Apalagi di tengah berkembangnya bisnis digital, banyak pelaku perdagangan elektronik atau e-commerce yang belum terdata.

Direktur Eksekutif CITA itu menuturkan, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Ditjen Pajak untuk meningkatkan kesadaran pajak bagi sebanyak-banyaknya pelaku UKM sejak dini sehingga dengan sendirinya penerimaan pajak UKM pun akan meningkat. Yustinus menekankan, pelaku UKM sendiri sebenarnya bukan merupakan sasaran utama Wajib Pajak (WP) terkait kepatuhan pajak, namun lebih kepada pendaftaran atau registrasi di Ditjen Pajak.

"Tentu UKM memang bukan sasaran 'compliance', meskipun harapannya ia akan comply. Sasaran UKM itu registrasi sebenarnya, semakin banyak UKM yang registrasi. Tantangan Ditjen Pajak itu sebenarnya disini, caranya apa supaya registrasi itu efektif," ujar Yustinus.

Yustinus menambahkan, Ditjen Pajak bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan kementerian/lembaga lain, seyogyanya dapat berkolaborasi membuat kebijakan "one stop services" untuk pelaku UKM sehingga sosialisasi pentingnya membayar pajak bagi UKM sendiri dapat efektif.

"Ini lho kalau anda jadi wajib pajak terdaftar anda akan untung. Bayarnya kecil, tapi dibantu pembukuannya. Kalau pembukuan bagus, bisa akses kredit ke bank, akan dibantu pentetrasi ke pasar, dibantu oleh pemda misalnya mendapat tempat prioritas. Bunding atau packaging kebijakan ini yang belum kelihatan dari pemerintah. PR-nya saya kira di situ," ujar Yustinus.

 

BERITA TERKAIT

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…