Pemerintah Harus Pisahkan Aturan Produk Tembakau Alternatif

Pemerintah Harus Pisahkan Aturan Produk Tembakau Alternatif

NERACA

Jakarta – Produk tembakau alternatif atau yang oleh Pemerintah Indonesia akrab dengan sebutan HPTL (Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya) seperti jenis produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar (heat-not-burn) dan rokok elektrik (vape) telah menjadi salah satu pilihan bagi perokok dewasa di luar rokok konvensional. Sejumlah kalangan meminta pemerintah menyusun aturan tersendiri dan memisahkannya dengan produk tembakau konvensional.

Profesor Antropologi Budaya King Fadh University of Petroleum and Minerals Sumanto Al Qurtuby mengatakan produk tembakau alternatif di Indonesia tergolong HPTL dan belum diatur secara khusus.“Produk tembakau alternatif memiliki perbedaan dari rokok konvensional baik dari sisi potensi risiko kesehatan hingga kontribusi bagi negara. Sehingga, penanganan regulasi yang diterapkan pemerintah diharapkan juga berbeda pula,” kata Sumanto saat Bedah Buku “Polemik Rokok Konvensional dan Potensi Produk Tembakau Alternatif di Indonesia” di Jakarta, Kamis (20/12).

Dia menjelaskan sejumlah ahli dan ilmuwan melalui berbagai riset telah menyampaikan perbedaan mendasar antara HPTL dengan rokok konvensional. Salah satu contohnya adalah bahwa pada produk HPTL tidak terdapat proses pembakaran yang memproduksi zat TAR dan karbon monoksida. Kedua zat tersebut membahayakan kesehatan tubuh.

Lembaga terpercaya seperti Public Health England (Inggris), sebuah badan kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris dalam risetnya menyatakan produk tembakau alternatif yang dipanaskan (bukan dibakar) mampu menekan atau menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen. Hasil riset Food and Drug Administration Amerika Serikat serta Federal Institute for Risk Assessment (Jerman) juga menemukan hasil yang hampir sama.

Secara umum berbagai macam jenis produk HPTL seperti jenis heat-not-burn dan rokok elektrik memiliki persamaan antara lain keduanya memiliki risiko kesehatan lebih rendah, berasal dari daun tembakau, dan memproduksi uap bukan asap hasil pembakaran. Dengan kata lain, kedua produk ini memakai tembakau sebagai komponen utama.

Namun, rokok elektrik berbeda dengan heat-not-burn. Kandungan nikotin pada cairan rokok elektrik diperoleh dari ekstraksi daun tembakau secara sintetis serta dipakai dengan cara memanaskan dan menguapkan cairan nikotin (liquid). Sementara produk heat-not-burn mengandung komposisi daun tembakau yang diolah agar kompatibel dengan alat pemanas sebagai medium memanaskan batang tembakau.

Sumanto menjelaskan pemerintah perlu menerapkan pendekatan berbeda untuk menurunkan tingkat prevalensi perokok di Indonesia yang masih mencapai 50 juta orang pada 2016. Pemerintah dapat belajar dari berbagai negara maju di dunia dalam menurunkan prevalensi merokok. Selain itu, keberadaan produk tembakau alternatif juga berpotensi untuk mengembangkan diversifikasi produk tembakau yang inovatif, rendah risiko dan profitable terutama untuk memanfaatkan produk tembakau lokal di Indonesia. Produksi cairan rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan seyogyanya dapat melibatkan petani tembakau lokal di Indonesia sebagai mitra kerja yang dapat berdampak baik bagi produsen, petani tembakau, konsumen dan pemerintah khususnya kesejahteraan petani tembakau lokal

Sumanto menambahkan, prevalensi perokok telah terbukti menurun di berbagai negara maju seperti Inggris dan Jepang yang menerapkan pendekatan pengurangan risiko pada aktivitas merokok (harm reduction). Adapun di Indonesia, pendekatan yang dilakukan masih bersifat konvensional.

Selama ini berbagai aturan dan program terkait tembakau di Indonesia lebih banyak bernuansa mengancam atau menakut-nakuti perokok dibandingkan memberikan jalan keluar. Padahal, pemerintah dapat memberikan jalan keluar berupa kebijakan yang mendorong produsen rokok memproduksi aneka produk tembakau alternatif yang mampu mengurangi dampak negatif rokok."Ini salah satu aspek yang belum terlihat dari aturan dan kebijakan anti rokok di Indonesia," kata Sumanto.

Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah sebenarnya mulai mengambil langkah positif. Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2017, Nomor 66, 67 dan 68 Tahun 2018 tentang Cukai Produk Tembakau Kategori HPTL. Hanya saja, cukai sebesar 57% dinilai masih cukup tinggi, bahkan dibandingkan sigaret putih mesin yang hanya 55%.

Tingginya cukai produk tembakau alternatif juga membuktikan pemerintah masih menganggap produk tersebut memiliki risiko sama besar dengan rokok konvensional. Padahal penerapan cukai yang tinggi terbukti kurang efektif menurunkan prevalensi perokok.“Ini juga kontradiktif dengan pendekatan harm reduction yang berhasil di negara maju,” pungkas Sumanto. Mohar/Iwan

 

 

 

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…