Antek Asing Melawan Sawit dan Batubara

 

Oleh: Gigin Praginanto,  Antropolog Ekonomi Politik

Inilah Indonesia di musim hujan. Tiada hari tanpa tanah longsor dan banjir. Bencana yang telah menelan banyak korban harta dan nyawa ini menghantam dataran tinggi maupun rendah. Para korban tentu heran karena berbagai kebijakan penanggulangan bencana alam ibarat 'tong kosong nyaring bunyinya'.

Semua itu tak lepas dari kenyataan bahwa meski yang memerintah telah datang dan pergi secara silih berganti,  tak ada yang sanggup menjinakkan keganasan para perusak lingkungan. Tak ada kemajuan dalam menghadapi bencana ganas yang selalu mengamuk di musim hujan. Para petinggi negeri ini seolah cuma bisa mengumbar berjuta janji dan kebijakan kosong.

Sementara itu para konglomerat besar yang paling destruktif terhadap lingkungan santai saja berkat hubungan istimewa dengan aparat penegak hukum dan penguasa politik.  Bahkan bila tertangkap,  mereka tahu bagaimana membebaskan diri dari jeratan hukum.  Mereka juga tahu bahwa bila dinyatakan bersalah hukumannya akan ringan saja.

Di era demokrasi ini,  kaum berduit perusak lingkungan ini paham betul bahwa uang mereka didambakan oleh banyak politisi untuk mewujudkan syahwat berkuasa dan menjadi kaya.  Sudah berulangkali terungkap oleh KPK,  para politisi semacam bisa rajin melayani kepentingan kaum VVIP perusak lingkungan tersebut.

Tampaknya masih terlalu bahkan mungkin makin sulit menghabisi persahabatan antara penguasa bisnis dengan politisi yang tidak bersahabat dengan lingkungan ini.  Apalagi kini berbagai posisi strategis di lembaga eksekutif maupun legislatif dikuasai oleh pelaku persekongkolan tersebut.

Di kedua lembaga negara itu kini bahkan bercokol para para juragan perkebunan dan pertambangan, terutama sawit dan batubara.  Menurut catatan Walhi,  kedua lahan bisnis ini adalah perusak paling ganas bagi lingkungan hidup.

Analisis Walhi pada 2012 menemukan bahwa perusak lingkungan hidup terburuk adalah perusahaan di sektor pertambangan dan perkebunan. Posisi kedua diduki oleh pemerintah. Ketiga oleh kombinasi perusahaan dan pemerintah. Posisi ketiga diduduki oleh masyarakat.

Beberapa bulan lalu,  Nur Hidayat, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengungkapkan bahwa tak ada kemajuan dalam pengelolaan lingkungan. Indonesia,  katanya,  masih dalam kondisi darurat ekologis. Keadaan darurat ini terkait dengan pembungkaman,  kriminalisasi, kekerasan,  dan perampasan hak rakyat yang terus berlangsung. Pelaksanaan hukum,  menurutnya,  masih berpihak pada kepentingan korporasi.

Para juragan perkebunan dan pertambangan paham betul bahwa siapapun yang memerintah tak akan mau berkonfrontasi dengan mereka. Sebaliknya,  secara terbuka maupun diam-diam,  para penguasa pemerintahan di pusat dan daerah akan menyokong ekspansi bisnis mereka. Ini karena perkebunan, terutama sawit; dan tambang,  terutama batubara, bila digabungkan adalah penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia.

Tahun lalu,  kelapa sawit bahkan kembali menjadi penghasil devisa terbesar. Menurut BPS,  produk kelapa sawit menghasilkan 22,97 miliar dollar AS. Posisi kedua diduduki oleh batubara dengan 21,07 miliar dollar AS; posisi ketiga diduduki Migas dengan 13,1 miliar dollar AS.

Di tengah badai kritikan yang hebat sebagai perusak lingkungan,  tahun ini pemerintah menambah kuota produksi batubara sebesar 100 juta ton, disertai pencabutan kewajiban menjual di pasar dalam negeri. Penambahan ini membuat kuota produksi batubara tahun ini menjadi 585 juta ton.

Mengejar devisa dengan mengorbankan lingkungan tampaknya menjadi pilihan pemerintah. Dengan kata lain,  perekonomian harus tetap tumbuh dengan biaya berapapun. Apalagi di tahun politik ini pemerintah harus membuktikan kemampuannya mengelola perekonomian nasional sebagai faktor sangat menentukan siapa yang akan menjadi pemenang dalam Pilpres 2019.

Kini pemerintah juga berada di bawah tekanan defisit neraca pembayaran yang terus membengkak. Nilai rupiah pun tertekan, membuat anggaran belanja menggelembung. BI bahkan telah beberapakali menaikkan suku bunga sehingga para pengusaha kelabakan karena biaya dana makin mahal.

Defisit tersebut bisa membengkak akibat kampanye anti pembabatan hutan yang bjsa mebggerus perolehan devisa hasil ekspor sektor pertambangan dan perkebunan. Uni Eropa  telah menaikkan bea masuk produk sawit.  Sementara itu sejumlah negara lain, di antaranya Australia, juga akan melakukan hal yang sama.

Runyamnya lagi industri manufaktur yang diharapkan bisa menjadi energi untuk menungkatkan efisiensi ekonomi masih saja loyo.  Bila dibandingkan pertumbuhan ekonomi dan sumbangannya pada PDB,  Indonesia bahkan boleh dikatakan sedang dilanda deindustrialisasi. Lihat saja,  menurut BPS,  sampai dengan trirwulan kedua tahun ini sumbangan industri manufaktur hanya 19,83 persen, padahal pada 2001 mencapai 29,05 persen. Pada semester pertama tahun ini,  pertumbuhan ekonomi adalah 5,27 persen sementara industri manufaktur hanya 4,41 persen.

Ketergantungan pada komponen impor industri manufaktur juga masih merihatinkan. Impornya selama Januari-Juli,  menurut BPS,  tercatat 107,32 miliar dollar, dan sekitar 75 persen berupa bahan baku dan penolong.

Sebaliknya,  dalam soal ekspor, posisi Indonesia kini masih tak jauh berbeda dari jaman kolonial. Yakni sebagai pemasok bahan mentah atau setengah jadi berteknologi rendah untuk negara maju. Lihat saja,  ekspor Indonesia masih didominasi oleh minyak mentah sawit,  batubara,  kayu, karet,  dan kopi. Ekspor utama lainnya adalah tenaga kerja tak berketrampilan.

Dalam kondisi seperti ini,  upaya penghentian perusakan lingkungan tampaknya masih harus melalui jalan yang sangat panjang dan penuh hambatan. Apalagi para juragan besar, termasuk di sektor perkebunan dan pertambangan, makin berkuasa di arena politik.

Tampaknya KPK akan makin disibukkan oleh para pebisnis dan politisi korup. Kini 118 telah dikrangkeng oleh KPK, dan entah masih berapa lagi. Hanya saja,  sejauh ini KPK tampak bagai oemain tunggal. Maka tak aneh bila Indonesia bakal menghadapi tekanan makin keras dari para pecinta lingkungan seperti Green Peace dan WALHI, seiring dengan kian ganasnya terjangan bencana alam.

Sebaliknya,  para pecinta lingkungan ini harus siap menghadapi serangan balik,  berupa tudingan sebagai antek asing. Aksi-aksi mereka pun dianggap sebagai bagian dari perang dagang yang dilancarjan oleh para pesaing.

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…