Stabilitas Rupiah vs Pertumbuhan

Di tengah tantangan ekonomi global yang tak menentu belakangan, persoalan target pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas mata rupiah selalu menjadi pembahasan banyak pihak. Pasalnya, untuk menjaga stabilitas rupiah, BI mengandalkan senjata pamungkasnya dengan menaikkan suku bunga acuannya (BI 7-Day Reverse Repo Rate-BI 7DRRR) yang bertujuan agar kondisi finansial di dalam negeri tetap atraktif di mata investor. Rencana BI menaikkan lagi suku bunga acuan itu dinilai cukup tepat, guna mencegah larinya modal asing dari pasar portofolio. Ini karena gejolak capital outflow pada tahun ini yang terlihat amat deras. Fakta di pasar saham, asing telah mencatatkan net sell hingga lebih Rp 50 triliun selama tahun berjalan (year to date).

Kendati suku bunga acuan berpeluang naik lagi dalam bulan ini, BI tetap berkomitmen mendorong pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya, pengetatan likuiditas lewat penaikan suku bunga acuan ini akan dibarengi dengan kebijakan relaksasi a.l. melalui kebijakan loan to value (LTV). Keringanan uang muka untuk kredit properti maupun otomotif tersebut diharapkan mampu mendongkrak konsumsi yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan.

Kita menyadari upaya BI untuk menyesuaikan dengan suku bunga global memang bukan hal yang mudah. Namun apabila BI tidak ikut arus global dan tetap bertahan pada rezim bunga rendah, bukan hanya nilai tukar rupiah yang terancam, tetapi juga aset-aset keuangan Indonesia akan ditinggalkan investor asing. Artinya, investor asing pasti akan melirik portofolio surat berharga global yang memberikan imbal hasil menarik, terutama di Amerika Serikat yang yield obligasinya kini cuma beda tipis dengan negara-negara emerging markets.

Bagaimanapun, kebijakan BI menaikkan bunga tentu memberikan implikasi berupa perlambatan ekonomi. Ekspansi kredit bakal terhambat. Target untuk menggenjot pertumbuhan kredit dua digit terancam gagal terwujud. Apa boleh buat, BI tidak mungkin melawan arus mainstream dunia dalam kebijakan moneter.

Dalam konteks itu, BI perlu menciptakan kebijakan lain sebagai penyeimbang, agar ekonomi tumbuh sesuai harapan. Apalagi, ekonomi kita relatif stagnan dalam dua-tiga tahun terakhir. Dunia usaha cenderung wait and see, dan ragu untuk berinvestasi. Para pengusaha belum sepenuhnya percaya terhadap kondisi ekonomi secara keseluruhan. Mereka sangat membutuhkan kepercayaan dan dukungan iklim usaha yang kondusif.

Selain itu, kebijakan BI juga perlu ditopang oleh kebijakan pemerintah, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Iklim investasi mutlak harus terus dibenahi, terutama di daerah. Keluhan utama para pengusaha adalah hambatan perizinan oleh pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan gembar-gembor pemerintah pusat. Berulang kali Presiden Jokowi mengingatkan pentingnya pemangkasan prosedur perizinan, namun praktik di lapangan tetap tak semudah membalikkan tangan.

Kita melihat kebijakan The Fed yang kembali menaikkan suku bunga sebesar 0,25% menjadi 1,75-2,0% belum lama ini, memberikan sinyal kuat bahwa penaikan lanjutan bakal dilakukan dua kali lagi di sisa tahun ini. Spekulasi pelaku pasar semakin mengarah bahwa The Fed tetap menaikkan suku bunga sebanyak empat kali tahun ini.

BI setidaknya juga menangkap isyarat tersebut. Itu sebabnya, Gubernur BI Perry Warjiyo secara tegas menyatakan bahwa peluang penaikan suku bunga acuan (BI 7DRRR), terbuka lebar dalam rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada minggu depan. Setelah sebelumnya menaikkan dua kali masing-masing 25 poin pada 17 Mei dan 30 Mei lalu menjadi 4,75%, dan sekarang suku bunga acuan BI mencapai kisaran 5,5%.

BI menyebut bahwa kebijakan lanjutan yang ditempuh untuk mengantisipasi perkembangan baru The Fed tersebut bersifat pre-emptive, front loading, dan ahead the curve. BI tampaknya tidak ingin terlambat lagi dalam merespon kebijakan penting The Fed tersebut. Karena bila terlambat merespon kenaikan suku bunga, nilai tukar rupiah dapat menembus batas psikologis Rp 14.000 per US$.

Selain kombinasi kebijakan moneter ketat yang ditempuh BI, relaksasi aturan kredit, dan perbaikan iklim investasi diharapkan menjadi senjata pamungkas yang mampu berfungsi ganda. Di satu sisi aset keuangan atau portofolio Indonesia tetap atraktif sehingga menarik animo asing, sekaligus mencegah capital outflow. Di lain sisi, investasi di sektor riil tetap berjalan baik mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…