NERACA
Medan - Keandalan instalasi penampungan limbah terhadap resiko bencana gempa menjadi salah satu persoalan yang harus dipastikan oleh pemerintah pada perusahaan pertambangan yang beroperasi pada wilayah yang masuk dalam kategori daerah sesar gempa. Sebab, jaminan mengenai kemampuan instalasi tersebut untuk menahan gempa berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat yang terdampak jika penampungan tersebut mengalami kerusakan.
Karenanya kajian mengenai kelayakan lingkungan baik dalam bentuk AMDAL ataupun UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) wajib dipenuhi. Hal ini disampaikan pengamat lingkungan dari Universitas Sumatera Utara, Isra Suryati. "Bila kita berbicara mengenai limbah tambang maka harus diidentifikasi risiko dan bahaya yang akan terjadi seperti gempa bumi," katanya, seperti dikutip dalam keterangannya, Senin (17/12).
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan ini menjelaskan, pemerintah selaku pengawas dan pemberi izin wajib memastikan seluruh infrastruktur pengolahan limbah tailing milik perusahaan pertambangan sudah memenuhi standar. Hal ini juga termasuk dalam meminimalisir potensi resiko yang mungkin timbul jika terjadi kerusakan atau kebocoran sehingga tidak mengorbankan masyarakat. "Limbah tailing ini masuk dalam kategori berbahaya dan beracun (B3)," katanya.
Idealnya menurut Isra, pemerintah mengeluarkan peta rawan bencana, maka masyarakat tidak boleh bermukin di daerah-daerah tersebut. Akan tetapi dalam beberapa kasus, masyarakat justru merupakan pihak yang sudah terlebih dahulu bermukim di lokasi tersebut. "Jika ini yang sudah terjadi maka, harus diberi sosialisasi kepada masyarakat terkait prosedur menyelamatkan diri ketika kejadian gempa," katanya.
Sebelumnya Direktur Jaringan Monitor Tambang (JMT) Ali Adam mengatakan tanpa ada bencana gempa sekalipun limbah tambang saat ini sudah memberi dampak pada masyarakat. Hal ini dialami oleh masyarakat di kawasan Batangtoru tempat beroperasinya salah satu tambang emas PT Agincourt Resources. Saat ini kata Ali, masyarakat sudah merasakan dampaknya yakni ketakutan masyarakat untuk mengkonsumsi air dari sungai tersebut. Bukan hanya itu, dampak ekonomi yang paling terasa yakni seperti yang dialami warga di Muara Huta Raja yang dulunya terkenal sebagai daerah penghasil ikan sale. "Warga di sana tidak lagi memproduksi ikan sale karena masyarakat enggan memakan ikan hasil produksi mereka," katanya pekan lalu.
Ali Adam menjelaskan, pihak JMT beberapa waktu lalu pernah melakukan investigasi terkait keberadaan kolam penampungan limbah tambah milik salah satu perusahaan pertambangan di Batang Toru yakni PT Agincourt Resources. Hasilnya mereka memastikan bahwa, perusahaan tersebut memiliki kawasan penampungan untuk memproses limbah tambang sebelum dibuang ke Sungai Batangtoru. Letaknya sendiri berada di kawasan tebing yang berbatasan langsung dengan masyarakat yang ada di bawahnya.
Urgensi Literasi Digital, Masyarakat Makin Sadar Penipuan di Ruang Digital NERACA Trenggalek – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkolaborasi…
NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkapkan, potensi perputaran ekonomi yang terjadi selama libur Lebaran 2024…
NERACA Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan, ASN pindah ke Ibu Kota Nusantara…
Urgensi Literasi Digital, Masyarakat Makin Sadar Penipuan di Ruang Digital NERACA Trenggalek – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkolaborasi…
NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkapkan, potensi perputaran ekonomi yang terjadi selama libur Lebaran 2024…
NERACA Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan, ASN pindah ke Ibu Kota Nusantara…