Jikalahari Desak KPK Tetapkan Tersangka 20 Korporasi HTI Riau

Jikalahari Desak KPK Tetapkan Tersangka 20 Korporasi HTI Riau

NERACA

Pekanbaru - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) meminta KPK segera menetapkan 20 korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai tersangka korporasi kehutanan di Riau dengan menggunakan penghitungan kerugian negara berupa kerugian ekologis.

"Apalagi Majelis hakim yang menyidangkan kasus korporasi kehutanan itu sudah mempertimbangkan perhitungan kerusakan lingkungan sebagai salah satu aspek dalam menghukum para pelaku koruptor," kata Koordinator Jikalahari, Made Ali di Pekanbaru, dikutip dari Antara, kemarin.

Menurut dia, perhitungan kerugian ekologis juga jauh lebih progresif dibandingkan hanya menghitung kerugian negara yang muncul akibat tindakan korupsi. Made mencontohkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong yang menolak gugatan Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara) terpidana korupsi kasus pemberian IUP kepada PT Anugerah Harisma Barakah, terhadap ahli kerusakan lingkungan hidup Dr Ir Basuki Wasis, M.Si.

"Putusan tersebut mempertegas bahwa KPK segera menetapkan korporasi sebagai tersangka karena penghitungan kerugian ekologis dalam perkara korupsi memiliki dasar hukum," ujar dia.

Made mengatakan uji coba KPK pertama kali menggunakan penghitungan kerugian ekologis berhasil sehingga tidak ada lagi alasan bagi KPK memperlama penetapan 20 korporasi HTI sebagai tersangka."Ditambah pula telah ada hukum acara menangani korporasi yakni Perma 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh korporasi," kata Made.

Ia menjelaskan, dalam putusannya, majelis hakim menegaskan setiap ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan harus mendapat jaminan perlindungan dan tidak dapat digugat secara perdata atau pidana. Putusan majelis hakim tersebut, kata dia, merupakan bentuk kepedulian penegak hukum terhadap perlindungan lingkungan dan perlindungan terhadap para pejuang lingkungan."Hakim telah memaknai prinsip pro natura dengan bijak," ungkap dia.

Putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Maret 2018 dengan nomor perkara 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst memvonis Nur Alam pidana penjara 12 tahun, denda Rp1 miliar dan membayar uang pengganti sebesar Rp2,781 miliar.

Sementara itu Nur Alam keberatan dengan kesaksian yang diberikan ahli Basuki Wasis terutama terkait perhitungan kerusakan lingkungan hidup. Basuki menghitung kerusakan lingkungan di lokasi tambang yang diakibatkan dari pemberian IUP. Atas perhitungan tersebut, Basuki menyatakan kerusakan lingkungan dan ekologis akibat izin yang diterbitkan Nur Alam sebesar Rp2,72 triliun.

Atas kesaksiannya itu, Nur Alam menggugat Basuki Wasis pada 12 Maret 2018 di PN Cibinong. Basuki Wasis digugat karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian immateril sebesar Rp3 triliun dan ganti rugi materil Rp1,7 miliar.

Pada 17 Juli 2017, kata Made, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan memperberat hukuman bagi Nur Alam. Dalam putusan nomor 16/Pid.sus-TPK/2018/PT.DKI, ia dipidana penjara 15 tahun, denda Rp1 miliar, membayar uang pengganti Rp2,781 miliar dan pencabutan hak politik selama 5 tahun sejak selesai menjalani hukuman.

Namun pada 13 Desember 2018, majelis hakim Mahkamah Agung yang diketuai Salman Luthan serta anggota LL Hutagalung dan Syamsul Rakan Chaniago mengurangi hukuman bagi terpidana korupsi tersebut. Masa hukuman dikurangi dari 15 tahun menjadi 12 tahun dan membayar denda Rp750 juta dengan subsidair delapan bulan penjara.

Nur Alam juga harus membayar uang pengganti Rp2,7 miliar, jika tidak hukumannya akan ditambah dua tahun penjara. Hak politik Nur Alam juga dicabut selama 5 tahun terhitung setelah ia selesai menjalani hukuman.

Di Riau, menurut Made, tindakan Gubernur Riau Rusli Zainal, Bupati Siak Arwin AS, Bupati Pelalawan T Azmun Jaafar dan tiga Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau menerbitkan IUPHHKHT, RKT dan BKTUPHHKHT, telah memperkaya 20 korporasi HTI. Mereka menikmati izin menebang hutan alam hingga kini.

"Seharusnya KPK juga bisa menyasar kerugian ekologis yang diakibatkan penerbitan izin tak sesuai prosedur oleh gubernur, bupati dan kepala dinas ini sehingga memperkaya korporasi HTI yang terus beroperasi," kata Made.

Sementara itu sejak 11 tahun lalu, pertama kali perkara Bupati Azmun disidangkan tetapi KPK belum berani menetapkan korporasi sebagai tersangka karena belum ada payung hukum. Ant

 

 

 

BERITA TERKAIT

Perangi Korupsi - RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan

Komitmen pemerintah dan DPR terhadap agenda pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan publik seiring dengan sikap kedua institusi negara itu yang masih…

Jokowi Harap Keanggotaan Penuh RI di FATF Perkuat Pencegahan TPPU

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo berharap keanggotaan penuh Indonesia di Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrrorism…

KPK Akan Evaluasi Pengelolaan Rutan dengan Dirjen PAS

NERACA Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Perangi Korupsi - RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan

Komitmen pemerintah dan DPR terhadap agenda pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan publik seiring dengan sikap kedua institusi negara itu yang masih…

Jokowi Harap Keanggotaan Penuh RI di FATF Perkuat Pencegahan TPPU

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo berharap keanggotaan penuh Indonesia di Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrrorism…

KPK Akan Evaluasi Pengelolaan Rutan dengan Dirjen PAS

NERACA Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)…