MESKI PENERIMAAN SEKTOR MINERBA MENINGKAT - KPK: Kepatuhan Pajak SDA Masih Rendah

Jakarta-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, tingkat kepatuhan pajak di sektor sumber daya alam (SDA) khususnya sektor ekstraktif masih rendah. Perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif merupakan perusahaan yang menggali, mengambil, dan mengolah hasil alam secara langsung. Sementara itu, data Kementerian ESDM mencatat jumlah PNBP subsektor minerba mencapai Rp41,77 triliun per 16 November 2018, atau 130% di atas target APBN 2018 Rp32,1 triliun.

NERACA

Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif,  kesimpulan tersebut berdasarkan pada hasil Focus Grup Discussion (FGD) terkait permasalahan dan penyebab korupsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Informasi tersebut disampaikan Laode dalam peringatan Hari Anti Korupsi Internasional. "Kepatuhan wajib pajak terutama sektor tertentu, esktraktif industri, yang didapat Ditjen Pajak masih sangat kurang," ujar Laode di Kantor DJP, Kamis (6/12).

Laode mengatakan, KPK pernah melakukan studi pada 2014. Dia terlibat dalam penelitian tersebut walaupun belum aktif menjabat di komisi anti rasuah tersebut. Laode mengungkapkan hasil studi menunjukkan banyak potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan yang belum masuk ke kas negara. Penyebabnya, ada perusahaan tambang yang beroperasi tanpa izin usaha yang jelas.

Adapula perusahaan tambang yang memiliki izin resmi namun tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain itu, ada perusahaan tambang yang kerap berbuat curang. Laporan hasil tambang bulanan maupun tahunan perusahaan tersebut sering tidak sesuai dengan realisasi di lapangan. "Bahkan ketika ekspor itu catatan yang ada di pelabuhan Indonesia dengan catatan pelabuhan di luar negeri beda jumlahnya, lebih banyak yang ada di pelabuhan luar negeri. Itu berarti bayaran kepada pemerintah itu masih sedikit. Ini agak menakutkan," ujarnya.

Atas temuan dalam studi itu, KPK merekomendasikan bagi DJP untuk meningkatkan kehandalan basis data wajib pajak dan data eksternal lainnya yang dibutuhkan DJP guna meningkatkan mekanisme dan kerjasama antar instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan data.

KPK juga menyarankan DJP menyempurnakan aturan dan pedoman untuk menjunjung pelaksanaan fungsi DJP dan memperkuat fungsi analisis dan pengawasan pajak. Selain rendahnya kepatuhan pajak di sektor esktraktif itu, Laode juga memaparkan permasalahan lainnya di DJP.

Masalah tersebut antara lain; lemahnya manajemen restitusi pajak, lemahnya penegakan hukum pajak, diskresi otoritas pajak yang luas, kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM), etika, dan integritas petugas pajak, sistem yang masih belum optimal, dan belum ada sinkronisasi data dengan stakeholder atau institusi terkait.

Pada kesempatan yang sama, Dirjen Pajak Robert Pakpahan menuturkan kontribusi sektor pertambangan ke penerimaan pajak sebesar 7%. Menurut dia, penerimaan pajak dari sektor pertambangan telah menyesuaikan data kewajiban setoran pajak baik dari Kementerian/Lembaga (K/L) terkait maupun perusahaan sendiri. "Sebab, DJP bekerja dari bukti tidak boleh menetapkan, karena penetapan pajak by perusahaan jadi tidak bisa menggunakan analisis," ujarnya.

Meski demikian, DJP menerima masukan dari hasil studi KPK terkait selisih antara potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan dengan realisasinya."Kami kerja sama terus dan kami harus hati-hati dalam memastikan ketika menetapkan oleh perusahaan itu harus ada bukti yang komplet supaya ketetapan hukumnya kuat," ujarnya.

Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral bisa meningkat 5-6 kali lipat bila seluruh perusahaan di sektor komoditas itu, termasuk PT Freeport Indonesia membayar pungutan berdasarkan status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Menurut Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, PNBP dari pungutan sektor mineral saat ini berada di kisaran US$80 juta per tahun atau setara Rp1,16 triliun (berdasarkan kurs Rp14.500 per US$). Angka tersebut didapat dari skema pungutan berdasarkan Kontrak Karya (KK).

Namun, menurut hitung-hitungan kementeriannya, ketika seluruh perusahaan tambang mineral berubah status izin dari KK menjadi IUPK, termasuk Freeport, maka potensi PNBP bisa mencapai US$450-500 juta per tahun atau setara Rp6,52-7,25 triliun. "Kalau itu berubah jadi IUPK, termasuk Freeport, PNBP kurang lebih bisa mencapai US$450-500 juta. Ini usaha kami dalam tata kelola," ujar Bambang di Jakarta seperti dikutip CNNIndonesia.com, belum lama ini.

Bambang juga menyebut potensi PNBP dari sektor mineral masih bisa meningkat lagi bila seluruh pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) yang diwajibkan pemerintah kepada masing-masing perusahaan telah berproduksi secara optimal.

Bersamaan dengan kewajiban perubahan status IUPK, pemerintah memang ingin agar tiap perusahaan membangun smelter guna mendorong peningkatan nilai tambah produk tambang di dalam negeri. "Saat ini (komoditas mentah) langsung diekspor, karena manfaat dan added value di domestik masih lambat. Makanya kami fokus kesana. Harapannya, added value bisa dilakukan sendiri di sini," ujarnya.  

Sementara data Kementerian ESDM mencatat jumlah PNBP subsektor minerba mencapai Rp41,77 triliun per 16 November 2018, atau 130% dari target subsektor ini dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp32,1 triliun.

PNBP subsektor minerba tahun ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, PNBP subsektor ini hanya sekitar Rp35,4 triliun. Lalu, merosot menjadi Rp29,6 triliun pada 2015 dan Rp27,2 triliun pada 2016. Kemudian, meningkat lagi menjadi Rp40,6 triliun pada 2017.

Sementara secara rinci, PNBP subsektor minerba tahun ini berasal dari jenis pungutan royalti sebesar Rp24,84 triliun, penjualan hasil tambang Rp16,43 triliun, dan iuran tetap Rp49 miliar. Peningkatan PNBP tersebut terutama didorong oleh tren kenaikan harga batu bara yang berlangsung sepanjang tahun ini.

Melebihi Target

Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin penerimaan negara di tahun ini akan melebihi target yang direncanakan di dalam APBN. Dia memperkirakan, penerimaan negara hingga akhir tahun bisa mencapai Rp1.936 triliun atau lebih tinggi 2,21% dibanding target APBN 2018 yang tercatat Rp1.894 triliun.

Keyakinan Sri Mulyani itu berdasarkan pada perbaikan penerimaan di sejumlah lini. Perkiraannya, beberapa penerimaan negara tahun ini akan mengalami kenaikan. Salah satu kenaikan akan terjadi pada penerimaan pajak. Dia memproyeksikan penerimaan pajak tahun ini akan tumbuh 14,7%. Perbaikan penerimaan juga akan dihasilkan dari pos PNBP yang diharapkan bisa naik 28,4% hingga akhir tahun.

Secara keseluruhan, penerimaan negara akan naik 18,2% dibandingkan tahun kemarin. "Dan ini pertama kalinya penerimaan negara akan mencapai melebihi apa yang ada di dalam Undang-Undang (UU) APBN," ujar Menkeu, Rabu (5/12).

Di sisi belanja, Menkeu memprediksi hingga akhir tahun  ini akan mencapai Rp2.210 triliun. Dengan kata lain, pertumbuhan belanja diperkirakan naik 11% dibanding tahun sebelumnya. Dibandingkan pertumbuhan belanja tahun lalu sebesar 6,9%, dia mengklaim penyerapan belanja tahun ini lebih baik. "Penerimaan belanja yang tumbuh 18,2% ini pun juga lebih baik dibanding tahun lalu yang hanya tumbuh 6,6%. Jadi dari sisi penerimaan dan pengeluaran, pertumbuhannya cukup baik," ujarnya.

Pertumbuhan penerimaan yang lebih tinggi ketimbang pertumbuhan belanja tersebut akan menyebabkan keseimbangan primer membaik. Ani meramalkan keseimbangan primer hingga akhir tahun akan minus Rp15 triliun atau lebih rendah dibanding APBN 2018 Rp87 triliun.

Jika di dalam APBN 2018 pemerintah menargetkan defisit APBN sebesar 2,19% dari PDB, maka akhir tahun nanti defisit APBN bisa mencapai 1,84% dari PDB. "Perbaikan APBN ini yang bagus sebagai modal kami menghadapi ketidakpastian 2019. Apakah itu berasal dari kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat dengan China, kemudian kelesuan atau pelemahan ekonomi dunia. Ini yang akan kami terus waspadai," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…