Arah Kebijakan Moneter BI 2019 Tetap Antisipatif - Prostabilitas

 

 

NERACA

 

Jakarta - Bank Indonesia (BI) masih mencondongkan arah kebijakan moneter yang antisipatif (preemptive) dan mendahului dibandingkan negara lain (ahead of the curve) untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah tingginya tekanan eksternal pada 2019. "Posisi (stance) moneter yang 'preemptive' dan 'ahead of the curve' kami pertahankan. Kebijakan moneter akan tetap difokuskan ke stabiltas, khususnya pengendalian inflasi dan nilai tukar," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Jakarta, Selasa (27/11).

Perry menekankan berdasarkan evaluasi perekonomian 2018, Bank Sentral akan mempertebal bauran kebijakan pada 2019. Meskipun kebijakan moneter akan tetap berfokus kepada stabilitas, namun kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran dan ekonomi syariah akan akomodatif untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Posisi kebijakan moneter yang antisipatif dan bersifat mendahului juga ditujukan untuk semakin menurunkan defisit transaksi berjalan pada 2019 ke 2,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB), setelah di 2018 defisit transaksi berjalan meningkat, salah satunya karena kenaikan laju impor.

Di tengah posisi kebijakan moneter yang pro-stabilitas, Perry berjanji tetap menjaga kecukupan likuiditas di pasar finansial. "Stabiltas terus diupayakan dengan intervensi ganda di pasar valas. Kecukupan cadangan devisa diteruskan untuk mendukung stabiltias rupiah. Kerja sama 'swap' (barter) untuk perbankan kita perkuat," ujar dia.

Terdapat tiga catatan penting yang disimpulkan Bank Sentral selama 2018. Tiga evaluasi itu adalah perlunya penguatan ketahanan ekonomi domestik. "Inflasi harus dijaga rendah, rupiah stabil, defisit fiskal aman dan stabilitas sistem keuangan terjaga. Defisit transaksi berjalan perlu diturunkan di tingkat aman," ujar Perry. Kemudian, evaluasi kedua adalah peningkatan daya saing, industrialisasi, ekspor dan juga investasi. Evaluasi ketiga adalah penguatan sinergi kebijakan ekonomi nasional antara instansi dan pemerintah pusat serta daerah harus diperkuat.

Dalam kesempatan sebelumnya, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan BI menilai kebijakan moneter termasuk penyesuaian suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate yang ditempuh tidak hanya bergantung pada langkah bank sentral Amerika Serikat, The Fed saja. Dalam hal ini, BI memiliki pandangan tersendiri dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian dari sisi moneter.

Ia mengatakan, jika BI menaikkan suku bunga acuan bulan ini bukan berarti mendahului apa yang akan dilakukan the Fed pada bulan depan. Kalaupun Fed Fund Rate (FFR) kembali dinaikan pada Desember 2018, bukan berarti BI harus mengikutinya. "Kembali kami di Desember tidak ada head to head dengan Fed. Kami melihat keseluruhan data secara makro. Jadi apapun yang terjadi, saya tidak pernah mengatakan FFR naik besok, BI mengawali dengan naik hari ini, tidak pernah. BI melihat dari data dependence," kata dia.

Dirinya menjelaskan keputusan menaikkan BI 7 Days Reverse Repo Rate dari 5,75 persen menjadi enam persen bulan ini karena kondisi dalam negeri. Kondisi itu di antaranya adalah defisit transaksi berjalan yang melebar, ditambah defisit neraca perdagangan yang cukup besar di Oktober lalu. "Dengan suku bunga yang kita naikan membuat attractiveness pasar keuangan domestik agar lebih baik sehingga interest differential lebih lebar dan menarik modal masuk. Hal ini membuat Current Account Deficit (CAD) tidak besar sehingga bisa membantu cadangan devisa kita," jelas dia.

Hingga kuartal III-2018, defisit transaksi berjalan meningkat sejalan dengan menguatnya permintaan domestik. Defisit transaksi berjalan tercatat USD8,8 miliar atau 3,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar USD8 miliar atau 3,02 persen PDB. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia Oktober 2018 defisit USD1,82 miliar, dipicu impor yang meningkat 20,60 persen atau USD17,62 miliar. Peningkatan impor menyebabkan defisit sektor migas sebesar USD1,43 miliar dan sektor nonmigas USD0,39 miliar.

 

BERITA TERKAIT

Kredit Perbankan Meningkat 12,40%

    NERACA Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengatakan kredit perbankan meningkat 12,40 persen secara year on year (yoy) pada triwulan I-2024,…

Bank Saqu Catat Jumlah Nasabah Capai 500 Ribu

    NERACA Jakarta – Layanan perbankan digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yaitu Bank Saqu mencatat jumlah nasabah…

Bank DKI Gandeng Komunitas Mini 4WD untuk Dukung Transaksi Non Tunai

    NERACA Jakarta – Bank DKI menggandeng komunitas Mini 4WD untuk memperkenalkan aplikasi JakOne Mobile sebagai upaya mendukung penerapan…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Kredit Perbankan Meningkat 12,40%

    NERACA Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengatakan kredit perbankan meningkat 12,40 persen secara year on year (yoy) pada triwulan I-2024,…

Bank Saqu Catat Jumlah Nasabah Capai 500 Ribu

    NERACA Jakarta – Layanan perbankan digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yaitu Bank Saqu mencatat jumlah nasabah…

Bank DKI Gandeng Komunitas Mini 4WD untuk Dukung Transaksi Non Tunai

    NERACA Jakarta – Bank DKI menggandeng komunitas Mini 4WD untuk memperkenalkan aplikasi JakOne Mobile sebagai upaya mendukung penerapan…