DPR Perlu Respon Putusan MK Tentang Perjanjian Internasional

NERACA

Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menyatakan bahwa putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) per tanggal 22 November terkait dengan perjanjian internasional, perlu segera direspon oleh DPR-RI. "Putusan MK ini harus segera direspons oleh DPR RI, di mana UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional perlu segera dilakukan perubahan," ujarnya, Senin (26/11).

Sebagaimana diwartakan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 10 UU Perjanjian Internasional telah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1).

Persoalan inti dalam gugatan ini terkait mengenai pembagian perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR dan mana yang tidak, yang dinilai berpotensi masuk ke dalam wilayah "abu-abu" dalam praktek pembuatan kebijakan, yang jika tidak secara hati-hati diputuskan, maka akan berakibat fatal bagi kepentingan nasional.

Karena itu, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya melakukan perluasan kategorisasi perjanjian internasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, tidak hanya yang terdapat dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional.

Maka, persoalan perdagangan, ekonomi, investasi, pajak berganda, dan utang luar negeri, dapat menjadi bagian dari perjanjian internasional yang berdampak luas yang membutuhkan persetujuan rakyat, dalam hal ini melalui DPR-RI.

"Walaupun, MK hanya mengabulkan sebagian dari seluruh permohonan, pasal 10 inilah yang merupakan jantung dari gugatan tersebut. Hal ini karena putusan ini telah menjadi pendobrak atas pembaharuan sistem hukum nasional khususnya yang terkait dengan perjanjian internasional dengan dinamika perubahan masyarakat global yang perlu disesuaikan," ujarnya seperti dikutip Antara

Untuk itu, ujar dia, putusan MK ini harus menjadi acuan DPR-RI dan pemerintah dalam proses perubahannya, serta secara khusus, perumusan proses konsultasi yang wajib melibatkan partisipasi publik lebih luas harus dilakukan karena perjanjian internasional memiliki dampak luas bagi kehidupan rakyat, baik persoalan ekonomi, perdagangan, utang, pajak berganda, investasi dan lainnya.

Menurut dia, harus ada konsekuensi hukum bila perjanjian internasional yang disahkan tanpa melibatkan publik didalamnya. Sebelumnya, pemerintah siap menyelesaikan proses ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional yang selama ini masih tertunda karena harus melalui prosedur pelaporan dengan DPR."Keputusan ini diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution seusai memimpin rapat koordinasi penyelesaian ratifikasi perjanjian perdagangan internasional di Jakarta, Rabu (7/11).

Darmin menjelaskan proses ratifikasi ini akan dilakukan sesuai UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 terutama pasal yang menyangkut ratifikasi perjanjian perdagangan internasional dan ditetapkan melalui penerbitan Peraturan Presiden.

Pemerintah juga memutuskan untuk mengambil kebijakan ini karena tidak ada kepastian mengenai ratifikasi, setelah tujuh perjanjian internasional ini secara bertahap telah disampaikan kepada DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.

Menurut UU Perdagangan Pasal 84 Ayat 4, apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR dalam melakukan ratifikasi."Kami akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draf Perpres yang sudah siap," kata dia.

Tujuh perjanjian perdagangan tersebut antara lain First Protocol to Amend the AANZFTA Agreement yang telah disampaikan kepada DPR pada 5 Maret 2015 dan Agreement on Trade in Services under the ASEAN-India FTA (AITISA) yang telah disampaikan kepada DPR pada 8 April 2015.

Kemudian, Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA) yang sudah disampaikan kepada DPR pada 2 Maret 2016 dan Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA) yang telah disampaikan kepada DPR pada 2 Maret 2016.

Selain itu, ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD) yang sudah disampaikan kepada DPR pada 22 Februari 2016, Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS-9) yang sudah disampaikan kepada DPR pada 23 Mei 2016 dan Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA) yang telah disampaikan kepada DPR pada 30 April 2018.

Ratifikasi ini mempunyai manfaat guna menggairahkan kembali sektor perdagangan barang maupun jasa dengan mitra utama, contohnya ratifikasi AITISA, yang mempunyai kegunaan untuk kemudahan Indonesia dalam mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya (posisi high and middle management), dan jasa rekreasi India. mohar

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…