Memacu Daya Saing

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

Peringkat daya saing Indonesia urutan 45 dari 140 negara versi World Economic Forum. Posisi ini meningkat jika dibanding sebelumnya yaitu di urutan 47. Meski demikian, ada tantangan untuk bisa mencapai daya saing yang lebih baik, setidaknya di lingkup Asean karena kita kalah dari Singapura (posisi 2), Malaysia (25) dan Thailand (38). Pastinya komitmen memacu daya saing harus melibatkan koordinasi sektoral dan lintas sektoral karena pencapaiannya harus dilakukan secara sistematis - berkelanjutan. Yang menarik dicermati, meskipun AS sedang bersitegang melalui perang dagang namun daya saing AS menempati urutan teratas bisa menggalahkan Singapura, Jerman, Swiss dan Jepang. Padahal, Jepang termasuk negara dengan efisiensi biaya terbaik yang didukung dengan adopsi teknologi terbaru, kualitas SDM yang unggul dan faktor disiplin yang terbaik.

Belajar dari sukses AS yang menempati daya saing terbaik maka kedepannya Indonesia perlu mencermati sukses faktor dari AS. Seperti diketahui AS pernah mengalami krisis keuangan yang sempat melimbungkan perekonomiannya. Bahkan krisis pada tahun 2008 sempat memicu kekhawatiran terhadap dampaknya kepada mitra dagang AS, termasuk Indonesia. Betapa tidak, implikasi dari krisis tersebut yang juga menjalar ke Eropa telah mempengaruhi likuiditas dan keuangan global sehingga muncullah kekhawatiran terkait dengan sektor finansial.

Selain itu, dampak perang dagang dan konflik politik dengan Korut juga rentan terhadap kondisi perekonomian AS, meskipun tidak terlalu dominan. Artinya, kompleksitas ekonomi makro dari AS ternyata tetap memungkinkannya untuk memacu daya saing dan terbukti dengan peringkat yang disampaikan (World Economic Forum – WEF) dalam Global Competitiveness Index.

Konsistensi

Yang menarik dari rilis daya saing kali ini adalah komponen tentang faktor kesiapan masa depan dalam menghadapi persaingan. Jika dicermati komponen ini sejatinya yaitu untuk memastikan bahwa persaingan yang semakin ketat di masa depan membutuhkan kesiapan dan kesigapan untuk mengantisipasi semua bentuk perubahan yang ada dan mampu proaktif dalam melihat perubahan itu sendiri. Pemahaman ini menyadarkan arti proaktif dibanding reaktif dalam mensikapi persaingan karena bagaimanapun juga ke depan akan banyak pesaing, pengekor dan penantang yang akan berhadapan, baik itu secara frontal atau dari belakang demi memenangkan persaingan.

Pelaku bisnis pada khususnya dan Indonesia pada umumnya harus cermat membidik itu semua dan karenanya siapapun pemenang dalam pilpres 2019 mendatang tidak bisa lagi mengelak dari tuntutan untuk memacu dan membangun daya saing yang lebih baik lagi karena memang persaingan akan semakin ketat. Paling tidak, adopsi teknologi menjadi jembatan utama untuk bisa secepatnya melakukan lompatan ke tahapan yang lebih baik. Keyakinan ini tidak bisa terlepas dari tuntutan efisiensi dan produktivitas di semua lini proses produksi dan karenanya penggunaan teknologi menjadi mutlak. Tuntutan adopsi teknologi tentu tidak bisa mengelak dengan tuntutan alokasi pendanaan. Keterbatasan modal tidak seharusnya menjadi kendala untuk berdaya saing karena model kemitraan juga bisa diterapkan untuk mendukung dan memacu daya saing agar lebih baik lagi.

Persepsian tentang komponen kesiapan masa depan dalam penilaian daya saing secara tidak langsung juga mengacu kesiapan dan ketersediaan SDM. Persepsian SDM selama ini hanya mengacu kepada kuantitas yang kemudian dianggap sebagai tenaga kerja yang melimpah. Padahal, kuantitas SDM yang ada justru hanya dimanfaatkan sebagai pasar terbesar untuk konsumsi. Meski hal ini tidak bisa disalahkan, tapi persepsian SDM yang memacu daya saing adalah kualitasnya, bukan semata-mata hanya kuantitasnya.

Oleh karenanya komitmen pemerintah dalam mendorong kualitas SDM melalui ketrampilan – skill dan pengembangan SMK patut diapresiasi. Persoalan tentang rendahnya kualitas SDM di Indonesia memang menjadi kendala untuk memacu daya saing, apalagi kualitas itu hanya mengacu kualifikasi lulusan SMP – SMA. Pemahaman ini memberikan suatu gambaran tentang urgensi memacu kualitas SDM termasuk juga mengembangkan model kurikulum dan juga penumbuhkembangan etos kewirausahaan secara berkelanjutan.

Tantangan

Belajar bijak dari sukses AS mencapai daya saing terbaik maka situasi makro ekonomi harus juga diperhatikan. Betapa tidak, bencana beruntun, depresiasi rupiah, dampak riil dari perang dagang dan memanasnya iklim sospol menuju pilpres 2019 tentu berdampak terhadap geliat ekonomi dan juga komitmennya untuk memacu daya saing. Apalagi kini energi banyak terkuras untuk pilpres sehingga pengabaian terhadap pentingnya memacu daya saing menjadi benar adanya. Padahal, jaminan stabilitas sospol juga menjadi aspek penting untuk mendukung peningkatan daya saing. Energi yang terkuras untuk pilpres pada akhirnya hanya akan memicu sentimen investor karena munculnya persepsian wait and see yang juga bisa berubah menjadi wait and worry sehingga ini berdampak negatif terhadap perekonomian dan daya saing nasional.

Siapapun pemenang dalam pilpres 2019 dipastikan akan berhadapan dengan tuntutan untuk memacu daya saing. Pemetaan dan identifikasi persoalan dan sukses faktor untuk memacu daya saing memang harus dilakukan yang tentu harus juga didukung melalui koordinasi sektoral dan lintas sektoral. Jika Singapura bisa maka tentunya Indonesia juga harus bisa. Jika AS bisa bangkit pasca krisis keuangan maka Indonesia juga harus bisa lebih berbenah untuk memacu daya saing. Ironisnya, penetapan upah juga rentan terhadap daya saing, padahal tahun depan UMP naik 8,03 persen yang kemudian hal ini memicu kontroversi karena dunia usaha dan kalangan buruh berbeda pendapat.

Di satu sisi, dunia usaha merasa keberatan karena faktor ekonomi makro, situasi sospol dan bencana beruntun, serta dampak dari perang dagang. Di sisi lain, kalangan buruh juga berpendapat agar kenaikan upah bisa selaras dengan inflasi yang berpengaruh terhadap daya beli kaum buruh. Jika tidak ada titik temu maka rentan memicu konflik. Padahal, selama ini kaum buruh dikebiri dan murahnya upah buruh menjadi gincu untuk menarik investor, terutama yang padat karya. Kompleksitas tersebut menegaskan bahwa upaya memacu daya saing tidak mudah dan butuh konsistensi, bukan korupsi, apalagi korupsi berjamaah yang semakin marak.

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…