Niaga Internasional - Pertumbuhan Ekspor Indonesia Tahun Depan Berpotensi Tertekan

NERACA

Jakarta – Lembaga kajian ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengatakan pertumbuhan ekspor Indonesia pada tahun depan berpotensi tertekan seiring masih melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, daya dorong ekonomi global terhadap ekonomi domestik pada 2019 diprediksi masih terbatas.

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, diperkirakan akan mengalami perlambatan tahun depan. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan melambat dari 6,5 persen tahun ini menjadi 6,2 persen pada 2019, AS melambat dari 2,9 persen menjadi 2,5 persen, sementara Uni Eropa melambat dari 2,2 persen menjadi 2 persen. Bahkan pertumbuhan negara-negara ASEAN pun diprediksi melambat dari 5,3 persen menjadi 5,2 persen.

"Masih berlanjutnya efek perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi dunia tahun depan," ujar Faisal dalam acara diskusi CORE Economic Outlook 2019, disalin dari Antara.

Ia menuturkan, perlambatan ekonomi negara-negara mitra dagang terbesar, berpotensi menekan permintaan terhadap impor negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, harga sejumlah komoditas, termasuk komoditas andalan Indonesia seperti kelapa sawit, batu bara, dan karet, cenderung melemah.

"Ditambah dengan efek kebijakan sejumlah negara-negara tujuan ekspor utama, seperti AS, Uni Eropa, dan India, yang masih cenderung protektif, pertumbuhan ekspor Indonesia tahun depan berpotensi terus tertekan," kata Faisal.

Faisal menambahkan, gejala pelemahan ekspor khususnya ke pasar utama sudah terlihat sejak 2018. Pada periode Januari hingga Oktober 2018, ekspor nonmigas ke AS hanya tumbuh 3,7 persen, sepertiga dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 10,3 persen. Ekspor nonmigas ke Tiongkok memang masih tumbuh 22 persen, tapi capaian itu sebenarnya kurang dari separuh pertumbuhan ekspor padaperiode yang sama pada 2017.

Pelemahan nilai tukar rupiah, lanjutnya, nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekspor. Menurut Faisal hal tersebut wajar saja mengingat ekspor Indonesia sebagian besar masih merupakan ekspor komoditas yang lebih banyak terpengaruh oleh harga di pasar global.

Sementara itu, pertumbuhan ekspor manufaktur malah jauh lebih lambat lagi, yakni hanya mencapai 5 persen berbanding ekspor komoditas yang mencapai 22 persen sepanjang Januar hingga Oktober tahun ini.

"Manakala pertumbuhan ekspor masih tertekan, akselerasi impor yang terjadi pada tahun ini nampaknya masih akan sukar untuk dikendalikan tahun depan. Pasalnya, dua faktor eksternal pendorong utama percepatan impor yakni pelemahan Rupiah dan peningkatan harga minyak dunia, masih eksis di tahun 2019," ujar Faisal.

Meskipun dalam sebulan terakhir harga minyak melemah akibat kebijakan dispensasi AS terhadap ekspor minyak Iran, potensi untuk kembali meningkat di tahun depan sangat besar sejalan dengan rencana negara-negara OPEC, khususnya Arab Saudi dan Rusia, untuk melakukan pemangkasan produksi tahun depan.

Begitu pula tekanan terhadap rupiah, Faisal memprediksi masih berlanjut meskipun relatif lebih jinak dibandingkan tahun ini. Sementara pelemahan rupiah tidak banyak berdampak pada penguatan ekspor, pada sisi impor justru memiliki daya dorong sangat signifikan.

"Pasalnya, berbeda dengan struktur ekspor yang didominasi komoditas, struktur impor sangat didominasi oleh produk manufaktur, baik dalam bentuk barang konsumsi, barang modal, maupun bahan baku dan penolong industri," kata Faisal.

CORE Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional akan berada di kisaran 5,1-5,2 persen pada tahun depan, lebih rendah dari target pertumbuhan ekonomi pemerintah dalam APBN 2019 5,3 persen. "Kami berkeyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2019 masih berada pada rentang 5,1 persen hingga 5,2 persen atau kurang lebih sama dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2018," kata Faisal.

Menurut Faisal, target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen yang dipatok pemerintah untuk 2019 secara realistis masih sulit tercapai.  Belanja pemerintah, lanjutnya, memang dapat digenjot untuk tumbuh lebih tinggi, tapi dua sumber pertumbuhan yang lain yakni investasi dan net ekspor masih mengalami tekanan. "Sementara konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar PDB kemungkinan besar juga masih sukar tumbuh lebih dari 5,1 persen," ujar Faisal.

BERITA TERKAIT

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Di Pameran Seafood Amerika, Potensi Perdagangan Capai USD58,47 Juta

NERACA Jakarta –Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil membawa produk perikanan Indonesia bersinar di ajang Seafood Expo North America (SENA)…

Jelang HBKN, Jaga Stabilitas Harga dan Pasokan Bapok

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) terus meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam  menjaga stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan…

Sistem Keamanan Pangan Segar Daerah Dioptimalkan

NERACA Makassar – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (Bapanas/NFA) telah menerbitkan Perbadan Nomor 12 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan…