Waspada Kartel Pangan

Munculnya kartel pangan sebenarnya karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sektor pangan dengan benar. Belum adanya transparasi pemerintah dalam hal data, baik data kebutuhan maupun data pasokan. Sampai dengan saat ini data pemerintah tidak pernah dibuka, berapa kemampuan petani kita memproduksi, dan berapa kebutuhannya.

 

NERACA

 

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, mengatakan memasuki akhir tahun harga komoditas pangan biasanya langsung merangkak naik.  Ini berdasarkan data  delapan tahun terakhir, yang mana harga-harga biasanya mulai merangkan naik pada November dan puncaknya Desember. “Sudah menjadi tradisi setiap kali akhir tahun pasti harga pangan melonjak,” kata Enny saat berbincang dengan NERACA.

Kenaikan ini, menurut Enny terjadi bukan karena suatu yang alam atau biasa. Bisa jadi memang sudah setingan dari pihak-pihak tertentu yang sudah menguasai sektor pangan nasional. “Kalau bukan setingan masa setiap tahun, dan ini berjalan bukan tahun ini, atau tahun kemarin saja, tapi  sudah 8 tahun. Bisa jadi ini memang setingan para kartel pangan,” ujarnya.

Adapun, sambung Enny lagi, munculnya kartel pangan sendiri sebenarnya karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sektor pangan dengan benar. Belum adanya transparasi pemerintah dalam hal data, baik data kebutuhan maupun data pasokan. Sampai dengan saat ini data pemerintah tidak pernah dibuka, berapa kemampuan petani kita memproduksi, dan berapa kebutuhannya. “Sebenarnya kartel sendiri adalah kambing hitam. Akar masalah sebenarnya adalah kebijakan dari pemerintah sendiri yang menumbuhkan kartel,” sambungnya.

Tengok saja, lanjut dia lagi, kebijakan impor pangan kadang tidak masuk logika. Sering kali pada saatnya memasuki panen raya, pemerintah malah impor besar-besaran, ini kan tidak rasional. Kalau ada transparansi data kan jelas. Memang lagi panen raya, tapi produksi masih kurang makanya impor. Kalau yang selama ini terjadi, meski mau panen tahu-tahu impor. “Petani kita kasihan, lagi panen raya, ada impor harga ambruk. Ini kan logikan yang tidak masuk akal,” tegasnya.

Selain masalah data, tata niaga dan distribusi juga menjadi masalah besar dalam pengelolaan pangan nasional. Kita tahu betul Indonesia Negara yang sangat besar, contoh saja beras, tidak semua daerah menghasilkan maka dari itu distribusi pasokan juga harus benar. Sehingga harga sama mulai Indonesia barat hingga Indonesia timur. “Beberapa daerah tidak semuanya bisa menanam padi. Sementara gudang bulog terbatas. Lalu saat daerah tertentu panen daerah lain tidak harga beras di daerah jadi berbeda-beda,” tuturnya.

Masalah lain adalah produktivitas dari petani kita. Meski anggaran untuk sektor pertanian terus naik tapi hasilnya belum terlalu Nampak. “Sebagai negara agraris harusnya sektor pertanian kita sudah lebih jauh berkembang. Tapi faktanya sampai saat ini sepertinya masih jalan di tempat. Bisa jadi ini juga karena setingan lagi, agar kita menjadi Negara importir pangan,” tandasnya.

 

Kecanduan Impor

 

Di tempat terpisah Edy Mulyadi Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) menyebut pemerintah saat ini sudah kecanduan impor, terutama impor pangan. Uang yang mengalir untuk impor produk pangan sekitar Rp24 triliun. Coba saja uang sebanyak itu dipompakan ke dalam negeri. Pasti petani dan petambak garam kita akan sejahtera. Sayangnya, uang itu justru mengalir ke petani negara lain karena impor yang ugal-ugalan.

Tentu saja angka Rp24 triliun merupakan devisa yang mengalir ke luar negeri karena impor beras, gula, dan garam. Jumlah itu belum termasuk nilai impor daging sapi dan bawang putih. Sejatinya, angka tersebut Jika dihitung ulang, jumlahnya bisa dua kali kali lipat lebih besar. “Coba anggaran itu digelontorkan ke petani kita, pasti lambat laun kita bisa stop impor. Faktanya tidak impor pangan masih terus jalan, bahkan lebih membesar. Pemerintah kita ini impor pangan doyan apa udah kecanduan,” katanya.

Kebijakan impor ugal-ugalan, menurut Eddy, juga telah menyebabkan rakyat Indonesia membayar produk pangan jauh lebih mahal dibandingkan yang seharusnya. Pasalnya, sistem kuota impor telah melahirkan kartel dan mafia impor pangan. Mereka inilah yang mendikte harga hingga meraup keuntungan jauh di atas batas wajar. Dengan keuntungan yang mencapai ratusan persen itulah, para mafia dan kartel impor pangan menyogok pejabat terkait sehingga bisnisnya bisa terus berlangsung.

“Kalau pemerintah menghapus sistem kuota impor dan digantikan dengan sistem tarif, tentu praktik kartel dan mafia impor bisa ditekan sampai tahap minimal. Dengan begitu, petani dan petambak lokal terlindungi dari serbuan produk impor. Ujung-ujungnya harga produk pangan dapat lebih murah. Rakyat pun jadihappy,” tuturnya.

Selama ini KPK, badan antirasuah itu dan aparat penegak hukum hanya fokus pada aspek merugikan keuangan negara. Sementara aspek merugikan perekonomian negara relatif belum tersentuh. Padahal dampak yang diakibatkan atas terjadinya tindakan yang merugikan perekonomian negara jauh lebih besar dibandingkan ‘sekadar’ merugikan keuangan negara. “Harapannya KPK dan penegak hukum bukan hanya mengusut kasus korupsi saja. Tapi jugabisa masuk ke hal yang merugikan ekonomi bangsa,” tegasnya.

Hal senada juga dilontarkan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal yang meminta KPK segera menyisir potensi kerugian negara dari kebijakan impor yang telah dilakukan pemerintah.

Rizal menduga ada malpraktik impor dari ukuran impor bahan pangan yang kerap dilebihkan jauh dari kebutuhannya. Ia mencontohkan dari impor garam yang dilebihkan 1,5 juta ton, beras 1 juta ton, dan gula 1,2 juta ton.  Ia mewajarkan kalau ada impor untuk bahan pangan yang mengalami kelangkaan. Namun dalam kasus ini, Rizal menganggapnya sebagai impor artifisial. "Rekayasa kelangkaan sehingga ada alasan untuk impor lebih banyak lagi yang merugikan petani dan konsumen," katanya.

Kepada pihak KPK, Rizal meminta komisi antirasuah menyelidiki dua kemungkinan pelanggaran yakni kerugian keuangan negara jika impor itu dibuat oleh lembaga negara dan kerugian ekonomi negara terkait potensi uang yang mengalir ke luar negeri untuk kebijakan impor. (agus)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…