BI Sebut Defisit Transaksi Berjalan 2018 Sehat

 

NERACA

 

Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi pada tahun ini merupakan defisit yang sehat, karena impor untuk belanja modal (capital expenditure/capex) lebih besar dari impor konsumsi.

"Defisit ini adalah defisit yang sehat karena untuk keperluan perekonomian, impornya untuk investasi. Impor yang tumbuh 12-13 persen 'mostly' karena kegiatan ekonomi, kegiatan investasi, pembangunan infrastruktur yang memang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh di 5,1-5,2. Artinya relatif impor capex di atas impor konsumsi. Ini yang memberikan optimisme," ujarnya saat menjadi pembicara kunci dalam acara diskusi CORE Economic Outlook 2019 di Jakarta, Rabu (21/11).

BI mencatat defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal III 2018 meningkat menjadi 3,37 persen dari PDB atau sebesar 8,8 miliar dolar AS, dibandingkan kuartal II 2018 yaitu 3,02 persen dari PDB atau 8 miliar dolar AS. Meski pada paruh ketiga ini defisit meningkat, namun jika melihat dari awal tahun hingga akhir kuartal III 2018, defisit neraca transaksi berjalan secara akumulatif sebesar 2,86 persen PDB.

Menurut bank sentral, defisit yang meningkat pada kuartal III 2018 karena memburuknya kinerja neraca perdagangan barang dan melebarnya defisit neraca jasa. "Isu defisit tiga persen ini kalau kita lihat di tahun ini karena pembiayaannya atau 'financial account' tidak signifikan," ujar Dody. Ia mengatakan penting bagi bank sentral untuk menerapkan kebijakan moneter dengan melihat dari dua sisi yaitu neraca transaksi berjalan dan juga neraca jasa, karena keduanya menjadi sumber yang memberikan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah.

Kebijakan moneter ketat yang dilakukan BI dengan menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin, merupakan upaya untuk mengurangi semakin melebarnya defisit transaksi berjalan. "Dengan kita menaikkan suku bungaa, kita akan mengurangi tekanan dari sisi permintaan domestik, yang kemudian akan mengurangi impor, dan akhirnya mengurangi CAD," kata Dody.

Pada 2019 defisit neraca transaksi berjalan diharapkan akan berkurang dan bisa kembali bergerak di bawah 3 persen. Ia pun mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan mulai dari penerapan B20 hingga penundaan sejumlah proyek infrastruktur yang berkonten impor tinggi. "Sekarang semua tema besarnya memerangi CAD. Kita harapkan 'current account' bisa di bawah tiga persen di 2019," ujar Dody.

Dalam kesempatan sebelumnya, Ekonom PT Bank UOB Enrico Tanudjaja memperkirakan defisit transaksi berjalan akan mengecil pada kuartal terakhir tahun ini seiring dengan upaya pemerintah mengetatkan impor. Dia menuturkan walaupun pelebaran transaksi berjalan terjadi pada kuartal III 2018, namun upaya pemerintah macam meningkatkan suku bunga acuan dan memperketat impor, bakal mempersempit defisit.

Di sisi lain, Enrico juga menyoroti soal penguatan rupiah setelah kian melemah beberapa waktu lalu. Dia menuturkan penguatan itu dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti melemahnya dolar AS. "Alasan di balik rally baru-baru ini adalah faktor eksternal macam gerakan dolar dan ketidakpastian kesepakatan perdagangan AS-China," kata dia dalam keterangannya.

Di sisi lain, dia mengharapkan BI juga dapat meningkatkan suku bunga acuan 25 bps sebelum akhir tahun terkait dengan upaya mempersempit defisit transaksi berjalan. Saat ini suku bunga acuan itu dipatok 5,75 persen. Upaya BI lainnya, kata dia, juga telah berkoordinasi dengan pemerintah untuk stabilitas ekonomi. "Ini termasuk mendorong ekspor dan mengurangi impor sehingga defisit neraca transaksi berjalan akan diperkirakan turun di posisi 2,5 persen dari total PDB pada 2019," kata dia.

Pengamat Ekonomi Indef Bhima Yudhistira memaparkan, investor global sering memasukkan Indonesia ke dalam kelompok lima negara yang rentan mengalami gejolak akibat masalah defisit transaksi berjalan. Sebagai perbandingan, pada triwulan III-2018, defisit transaksi berjalan kelima negara tersebut, Indonesia menyentuh 3,37 persen Produk Domestik Bruto, Brazil punya defisit transaksi berjalan 1 persen, Turki 5,7 persen PDB, India 2,4 persen, dan Afrika Selatan 3,5 persen PDB.

Imbasnya, kata Bhima, investor akan cenderung berhati hati untuk membeli aset berdenominasi rupiah. “Aliran modal masuk yang sempat menguatkan kurs rupiah rentan berbalik arah keluar. Rupiah kembali melemah. Pemerintah juga akan lebih sulit untuk terbitkan surat utang karena naiknya resiko dan bunga yang tinggi,” imbuhnya.

 

 

BERITA TERKAIT

Pengamat: Aksi Merger-Akuisisi Berpotensi Dorong Industri Asuransi dan Skala Ekonomi Besar

  NERACA Jakarta-Aksi merger-akuisisi perusahaan asuransi dinilai akan menciptakan industri dengan permodalan yang kuat, sehingga turut menopang perekonomian Tanah Air.…

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mencatatkan total aset bank only…

TASPEN Bagikan Ribuan Paket Sembako Melalui Kegiatan Pasar Murah dan Bazar UMKM

TASPEN Bagikan 1.000 Paket Sembako NERACA Jakarta - Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau TASPEN berkomitmen untuk terus…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Pengamat: Aksi Merger-Akuisisi Berpotensi Dorong Industri Asuransi dan Skala Ekonomi Besar

  NERACA Jakarta-Aksi merger-akuisisi perusahaan asuransi dinilai akan menciptakan industri dengan permodalan yang kuat, sehingga turut menopang perekonomian Tanah Air.…

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat

Pembiayaan Tumbuh Positif, Aset Bank Muamalat Meningkat NERACA Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mencatatkan total aset bank only…

TASPEN Bagikan Ribuan Paket Sembako Melalui Kegiatan Pasar Murah dan Bazar UMKM

TASPEN Bagikan 1.000 Paket Sembako NERACA Jakarta - Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) atau TASPEN berkomitmen untuk terus…