Produk Perkebunan - Agar Regulator Turunkan Pungutan Sawit untuk Daya Saing Ekspor

NERACA

Jakarta – Pemerintah diminta menurunkan pungutan ekspor (PE) sawit untuk mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) dan meningkatkan daya saing ekspor CPO di luar negeri menyusul harga TBS di tingkat petani yang terus merosot.

"Kami minta ke pemerintah agar PE itu diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan agar TBS petani ini bisa mendapatkan harga yang wajar," ujar Anggota Komisi VI DPR Eriko Sotarduga di Jakarta, sebagaimana disalin dari Antara.

Menurut dia, bila PE diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan, maka akan mendorong para pengusaha maupun eksporter segera mengapalkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke negara-negara tujuan ekspor.

Selama ini, lanjutnya, banyak pengusaha yang masih menahan CPO-nya di tangki-tangki penimbunan karena harga internasional masih rendah yakni di kisaran 500 dolar AS per ton. Dengan harga itu, menurut Eriko, harga TBS di tingkat petani seharusnya masih sekitar Rp1.300 per kilogram (kg) atau sekitar 18-20 persen dari harga per kg CPO internasional.

Oleh karena itu, lanjutnya, untuk menyikapi anjloknya harga TBS itu, harus ada sinergi yang baik antara pemerintah, pengusaha dan asosiasi petani. Selain itu, perlu ada kolaborasi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam rangka membuka pasar-pasar ekspor baru.

Selain itu Kementerian Luar Negeri melalui kedutaan besarnya di luar negeri harus intensif membuka pasar baru, karena selama ini Indonesia masih mengandalkan pasar-pasar ekspor tradisional seperti China, India dan Pakistan. Pasar-pasar di kawasan Timur Tengah dan Afrika merupakan pasar potensial untuk dimasuki.

Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino mengungkapkan harga TBS di pabrik kelapa sawit (PKS) di Sumatera antara Rp750-Rp1.050 per kg. Sementara itu harga di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Barat (Kalbar) lebih rendah jika dibandingkan harga TBS di Sumatera.

Harga TBS di Pulau Sulawesi dan Papua hanya Rp500 hingga Rp700 per kg, lanjutnya, padahal biaya pengelolaan TBS yang dikeluarkan petani yang terdiri dari biaya perawatan, pemupukan dan panen sekitar Rp800 hingga Rp900 per kg. "Ini artinya, jika petani menjual TBS di bawah Rp800 per kg, maka itu adalah jual rugi," ujar Rino.

Rino mengungkapkan penurunan harga TBS di tingkat petani ini sudah berlangsung sejak lebaran atau bulan Juni lalu. "Di awal penurunan harga TBS, petani masih belum merasakan. Namun harga saat ini, kami semuanya menjerit. Karena itu, kami minta pemerintah harus segera turun tangan untuk menyelamatkan harga TBS petani," ujarnya.

Pada Selasa (13/11) lalu Apkasindo mengirim surat ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Dalam surat tersebut, Apkasindo meminta penurunan tarif pungutan ekspor karena tanki timbun sawit sangat penuh. Dampaknya, mengurangi pembelian TBS petani. "Oleh karena itu, tarif pungutan ekspor sebaiknya diturunkan sementara supaya ekspor meningkat, lalu harga CPO dan TBS dapat terangkat kembali," kata Rino.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 114 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menetapkan tarif pungutan ekspor CPO dan CPKO sebesar 50 dolar As per ton.

Sementara itu, RBD (refined, bleached, and deodorized) Palm Olein sebesar 30 dolar AS per ton, RBD palm oil dan PKO sebesar 20 dolar AS per ton, bungkil dan residu sawit sebesar 20 dolar AS perton hingga cangkang kernel sawit sebesar 10 dolar AS per ton.

Menurut dia, idealnya, penurunan tarif pungutan ekspor dibuat berjenjang dan tetap memberi ruang bagi pengembangan industri hilir. Misalnya, tarif pungutan ekspor CPO menjadi 30 dolar AS per per ton, RBD (refined, bleached, and deodorized) Palm Olein menjadi 10 dolar/per ton dan produk dalam kemasan dibebaskan dari pungutan ekspor.

Pada kesempatan lain, pemerintah Jerman mendukung pembangunan kelapa sawit berkelanjutan yang mengacu kepada mekanisme Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang telah diterapkan di Tanah Air.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang dalam rilis yang diterima di Jakarta, disalin dari Antara, berharap ke depan Pemerintah Jerman turut berperan dalam mendukung upaya Indonesia mewujudkan kelapa sawit berkelanjutan, hingga bisa mengakui atau mengakui sertifikasi ISPO. "Dengan teknologi yang dimiliki Jerman, kita berharap, bisa turut mendukung hilirisasi dan pemanfaatan limbah produk sawit agar pendapatan petani lebih meningkat lagi," ucapnya.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…