KIARA: Negara Wajib Lindungi Perempuan Nelayan

NERACA

Jakarta – Konflik Agraria di Indonesia terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terjadi seiring dengan praktik perampasan ruang hidup masyarakat pesisir yang disebabkan oleh masuknya investasi dan korporasi yang menguasai sumber daya alam di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, berupa sumber daya kelautan dan perikanan.

Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, peningkatan proyek investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil pada tahun 2017 dibandingkan dengan tahun 2016. Proyek reklamasi, pariwisata dan tambang pesisir adalah beberapa contoh investasi yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dampaknya, ruang hidup masyarakat pesisir dirampas dan tak sedikit masyarakatnya dikriminalisasi.

Fakta-fakta di lapangan membuktikan, kriminalisasi yang menimpa masyarakat pesisir semakin masif terjadi. Hal ini terjadi karena ketidakadilan negara untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir. KIARA mencatat, sampai dengan tahun 2017, lebih dari 11 orang nelayan, termasuk perempuan nelayan, dikriminalisasi karena melawan proyek tambang dan proyek pariwisata.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, menegaskan bahwa kriminalisasi yang menimpa nelayan dan perempuan nelayan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya tidak terjadi jika negara berpihak kepada masyarakat. Namun, faktanya masyarakat selalu menjadi korban. Peraturan perundangan memandatkan, masyarakat pesisir adalah aktor utama dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber daya perikanan dan kelautan. “Dengan demikian, negara wajib melindungi perempuan nelayan yang menjadi korban konflik agraria di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegasnya.

Susan menambahkan, perempuan nelayan yang tinggal di wilayah konflik rentan menjadi korban kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun aparatur negara. “Kasus di Pulau Pari atau di Tumpang Pitu, Banyuwangi, perempuan nelayan malah menjadi korban kekerasan, intimidasi hingga kriminalisasi yang dilakukan oleh aparatur negara. Artinya negara tidak berdiri untuk nelayan ataupun perempuan nelayan dan cenderung membela perusahaan dari pada rakyat”.

Dengan merujuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Susan menjelaskan bahwa negara wajib menjamin sepuluh hak yang dimiliki oleh perempuan, dalam hal ini perempuan nelayan, yaitu: Pertama, hak untuk bekerja. Kedua, hal untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja yang baik. Ketiga, hak untuk mengakses dan mendapatkan pendidikan yang layak.

Keempat, hak untuk mendapatkan jaminan sosial. Kelima, hak untuk mendapatkan pelatihan dan pendidikan (formal dan informal). Keenam, hak untuk berorganisasi dan mendirikan koperasi sebagai wadah perjuangan kesetaraan.

Ketujuh, hak berpartisipasi di dalam seluruh aktivitas masyarakat. Kedelapan, hak untuk mendapatkan kredit perikanan, pelayanan pemasaran, dan teknologi. Kesembilan, hak atas tanah. Kesepuluh, hak untuk memperoleh rumah, sanitasi, listrik, air bersih, dan transportasi.    

“Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang artinya negara harus menjamin perlindungan terhadap hak perempuan nelayan, khususnya yang menjadi korban konflik agraria di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah hal mendesak yang wajib dilakukan oleh negara, Dalam pada itu, Presiden Jokowi harus mampu menghentikan praktik-praktik kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan,” pungkas Susan.

Dalam kesempatan lain, pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menyatakan bahwa berbagai perjanjian perdagangan pasar bebas di tingkat global saat ini berpotensi negatif terhadap perikanan nasional bila tidak ada pembenahan domestik. "Setiap perjanjian internasional memberikan dampak negatif di sektor perikanan nasional," kata Abdul Halim disalin dari Antara.

Pasalnya, menurut dia, saat ini kondisi perikanan masih cenderung amburadul dan menyulitkan nelayan tradisional berkompetisi di tingkat global, Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu juga berpendapat bahwa saat ini masih minim proteksi dari hulu ke hilir sektor tersebut.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…