Geliat Pasar Tradisional

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

Pasar Legi di Solo terbakar pada Senin 29 Oktober 2018 dan ini adalah kasus kesekian dari kebakaran pasar tradisional. Kerugian yang terjadi tidaklah kecil karena pedagang yang ada mencapai lebih dari 2.000 orang, perputaran uang Pasar Legi Solo Rp.15 miliar per hari dan distribusi dari Pasar Legi yaitu untuk Solo Raya. Padahal, sebelumnya Pasar Klewer di Solo juga pernah terbakar. Hal ini menambah daftar panjang kebakaran pasar tradisional. Di Jakarta Pasar Senen juga terbakar kamis 19 Januari 2017 dan April 2016 terjadi kebakaran Pasar Karangpandan, di Karanganyar, Jawa Tengah. Dampak ratusan pedagang yang kehilangan lapak dan kerugian miliaran rupiah menjadi ancaman mata rantai dari geliat pasar tradisional.

Harapan geliat pasar tradisional tentunya harus juga memperhatikan ancaman kebakaran pasar tradisional. Hal ini menjadi penting karena statistik menunjukan trend kebakaran pasar tradisional meningkat. Kebakaran di Pasar Senen terjadi berulang mulai dari 11 Maret 2013, lalu 29 April 2014, dan 15 Nopember 2016 dengan kerugian miliaran. Ironisnya, membangun kembali pasar yang terbakar butuh waktu lama, sementara di sisi lain geliat pasar dengan para pedagang dan mata rantainya segera butuh untuk hidup.

Data menunjukan kebakaran Pasar Johar di Semarang pada sabtu 9 Mei 2015 memicu kerugian miliaran rupiah menambah daftar panjang kasus kebakaran pasar tradisional dalam 10 tahun terakhir setelah sebelumnya Pasar Klewer di Solo sebagai pasar tekstil terbesar juga terbakar Sabtu 27 Desember 2014. Terkait ini, wajar jika kemudian muncul berbagai spekulasi terkait terbakarnya pasar tradisional di berbagai daerah. Meski dari temuan berbagai kasus terungkap kebakaran pasar tradisional banyak dipicu hubungan arus pendek, tapi sering juga muncul rumor negatif dibalik terbakarnya sejumlah pasar tradisional. Oleh karena itu, beralasan jika penanganan pasca kebakaran pasar adalah pembangunan, penataan, revitalisasi dan modernisasi pasar tradisional, tentu tanpa harus mengabaikan eksistensi para pedagang lama di pasar tradisional tersebut.

Harapan terhadap pembangunan, penataan, revitalisasi dan modernisasi pasar tradisional tidak bisa terlepas dari fakta persaingan kini yang semakin ketat. Bahkan, jika dicermati ternyata kondisi persaingan ini sudah semakin tidak sehat. Meski ada regulasi penataan kawasan, namun banyak dijumpai bahwa sejumlah pasar modern di berbagai daerah lokasinya berdekatan dengan pasar tradisional. Bahkan, sejumlah waralaba minimarket keberadaannya cenderung berhadapan langsung dengan pasar tradisional.

Oleh karena itu, beralasan jika kondisi pasar tradisional kini cenderung redup sehingga ini otomatis berpengaruh terhadap omzet penjualan. Jika ini terus dibiarkan maka ancaman matinya pasar tradisional tinggal menunggu waktu. Ironisnya, ini justru diperparah oleh kasus-kasus terbakarnya sejumlah pasar tradisional. Yang menarik, pasar tradisional hanya menjadi perhatian menjelang pilpres saja ketika para kandidat pura-pura blusukan dan merasa sok akrab dengan para pedagang pasar tradional.

Kasus Berlanjut

Mencermati kasus-kasus kebakaran sejumlah pasar tradisional ternyata data menunjukan bahwa dalam 10 tahun terakhir ada sejumlah pasar tradisional yang terbakar, misalnya kasus dalam waktu hampir bersamaan tiga pasar terbakar yakni Pasar Turi Surabaya (26 Juli 2007), Pasar Cipanas Cianjur (28 Juli 2007), dan Pasar Bandaro Ungaran Semarang (9 Agustus 2007). Kebakaran beruntun ini sempat memicu sentimen negatif dan rumor sehingga meminta pihak berwajib untuk mengungkap kasus. Dari kasus kebakaran Pasar Turi yang diyakini sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara karena omzetnya mencapai Rp.60 miliar per hari tersebut diduga menimbulkan kerugian Rp.1,3 triliun. Kalkulasi ini karena meludeskan sekitar 2.257 kios dari 4.500 kios.

Kasus kebakaran juga terjadi pada 5 Maret 2014 yaitu di Pasar Anom Baru, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep yang menghanguskan sekitar 600 kios dan ini merupakan kejadian kedua kalinya, setelah pasar ini terbakar di tahun  2007. Meski tidak ada korban jiwa, tapi kerugian ditaksir mencapai puluhan miliar dan ini lebih besar jika dibanding kebakaran pertama 28 Oktober 2007 dengan kerugian Rp.5 miliar yang meludeskan 154 kios. Pada 28 Pebruari 2014 terjadi kebakaran di Pasar Ratu Jepara yang mengakibatkan kerugian miliaran rupiah. Pada 18 April 2014 di Pasar Lama Banjarmasin Tengah yang menghanguskan 13 rumah, dua toko dan sekitar 15 kepala keluarga atau sekitar 64 jiwa warga kehilangan tempat tinggal. Pada 6 Desember 2013 juga terjadi kebakaran di Pasar Baru Ketapang, Pontianak yang menghanguskan 27 ruko dan kerugian miliaran rupiah. Pada 25 April 2012 terjadi kebakaran di Pasar Cibeber, Kabupaten Cianjur meludeskan 146 kios dengan kerugian Rp.2 miliar.  Selain itu, 10 Agustus 2011 terjadi kebakaran di Pasar Pasinan di Desa Pasinan, Kabupaten Bojonegoro yang menghanguskan 250 kios.

Yang juga memicu ironi dari sejumlah kasus kebakaran pasar adalah berulangnya kasus. Paling tidak, ini juga terjadi pada 12 Januari 2014 ketika Pasar Sentral Makasar terbakar lagi. Padahal, pada 6 Nopember 2013 pasar ini juga pernah terbakar. Ironisnya, pada rentang waktu 2014 ini sudah ada beberapa pasar tradisional terbakar termasuk misalnya pada saat pemilu legislatif 9 April 2014 terjadi kebakaran di Pasar Simpang Kelayang di Kecamatan Kelayang, Kabupaten Indragiri Hulu yang menghanguskan 18 dari 36 ruko.

Tidak berselang lama pada 22 April 2014 terjadi kebakaran di Pasar Benai, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau dan sehari sebelumnya yaitu 21 April 2014 terjadi kebakaran di Pasar Sejumput Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur. Kasus kebakaran beruntun juga terjadi pada tahun 2013 yaitu 28 Juli 2013 pada Pasar Pasar Sepuluh Ulu Palembang Sumatera Selatan dan juga pada 29 September 2013 yang terjadi di kompleks Pasar Rakyat Nasional di Meulaboh, Aceh Barat yang menelan kerugian hangusnya 77 dari 131 kios.

Belajar bijak dari kasus-kasus kebakaran pasar tradisional, termasuk kali ini di Pasar Legi Solo maka perhatian terhadap kasus ini tidak hanya terkait pembangunan kembali, tetapi juga terkait revitalisasi. Persoalan tentang revitalisasi tidak sebatas menjadikan kondisi pasar menjadi lebih baik tampilan fisiknya tapi juga bagaimana membangun kondisi pasar yang memberikan harapan terhadap keberlanjutan usaha pedagang di pasar tersebut. Hal ini penting sebab mata rantai dari geliat ekonomi dari pasar tradisional sangat panjang mulai dari pemasok sampai buruh gendong, termasuk juga pedagang eceran lainnya.

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…