BUMN Memburuk di Tahun Politik

 

Oleh: Djony Edward

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak zaman Orde Lama sudah mendapat julukan sapi perahan. Bahkan BUMN yang paling basah pun akhirnya harus membukukan kerugian. Belakangan BUMN-BUMN besar kembali merugi, adakah Menteri BUMN Rini Soemarmo salah kelola?

Masih segar dalam ingatan akhir 2017 ada 12 BUMN yang membukukan kerugian sebesar Rp5,2 triliun. Angka itu memang menurun jika dibandingkan akhir 2016 dimana kerugian mencapai Rp6,7 triliun.

Menteri BUMN Rini Soemarno mengungkapkan, aset BUMN pada 2017 sebesar Rp7.212 triliun. Jumlah itu mengalami kenaikan dibandingkan 2014 yang senilai Rp4.387 triliun.

Sementara laba BUMN pada 2017 juga mengalami kenaikan menjadi Rp187 triliun. Angka itu meningkat Rp23 triliun atau 12,23% daripada capaian di tahun 2016 yang sebesar Rp164  triliun.

Dana program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) yang digelontorkan perusahaan BUMN juga mengalami kenaikan dari Rp1,8 triliun pada 2014 menjadi Rp3,5 triliun pada 2017. ”Jadi, itu menunjukkan bagaimana BUMN. Selain mencetak keuntungan, kami harus menekankan visi sebagai agen pembangunan membantu masyarakat,” argumentasi Rini.

Perusahaan BUMN yang masih mengalami kerugian cukup besar adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Garuda Indonesia merugi sebesar US$213,4 juta atau Rp2,88 triliun. Kerugian tersebut diderita Garuda juga disebabkan adanya pembayaran tax amnesty maupun denda pengadilan kasus hukum di Australia.

Sementara itu, PT Krakatau Steel masih mengalami kerugian sebesar Rp1,15 triliun pada 2017. Angka itu menurun sebesar 52,08% dibandingkan kerugian pada 2016 yang mencapai Rp2,40 triliun. Otomatis BUMN yang merugi tersebut tidak punya kewajiban menyetor dividen kepada pemerintah.

Menkeu Sri Mulyani mengatakan pada semester I/2018 ada 24 BUMN yang merugi karena kalah saing dan tidak efisien. Sementara 11 BUMN lain masih merugi karena sedang dalam proses restrukturisasi.

BUMN yang merugi karena kalah saing termasuk PT Garuda Indonesia, Perum Bulog, dan PT Krakatau Steel, PT Energy Management Indonesia, PT Pos Indonesia dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk.

Sementara BUMN yang masih merugi namun dalam proses restukturisasi termasuk PT Nindya Karya, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT Kertas Leces.

Sekretaris Kementerian BUMN, Imam A Putro, mengatakan, ke-24 BUMN yang merugi pada tahun buku semester I 2017 tersebut umumnya karena berbagai macam persoalan.

“Ada yang karena beban kerugian di masa lalu, ada yang karena salah manajamen, ada yang karena turunnya harga komoditas di pasar global dan karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan swasta,” Imam menjelaskan.

Di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018, pemerintah menargetkan dividen BUMN mencapai Rp43,6 triliun.

Meskipun demikian, Kementerian BUMN juga mencatat tiga BUMN yang kinerja keuangannya menjadi positif, yaitu PT Djakarta Lloyd (Persero) perusahaan jasa angkutan kargo kontainer dan curah berbasis transportasi kapal laut, PT Nindya Karya (Persero) perusahaan jasa konstruksi dan PT Varuna Tirta Prakasya (Persero), perusahan jasa logistik.

Kerugian BUMN dalam 8 tahun terakhir sudah menunjukkan perbaikan yang berarti, namun ditahun politik kerugian itu melonjak kembali.

Makin parah

Lantas apakah sudah ada perbaikan atau bahkan lompatan besar sehingga BUMN-BUMN itu berbalik arah membukukan laba bersih pada 2018? Atau justru berkebalikan dan membukukan kerugian yang lebih dalam?

Rini sendiri berharap pada akhir 2018 sudah tak ada lagi BUMN yang membukukan kerugian, karena ia merasa sudah melakukan banyak restrukturisasi terhadap BUMN yang ada. Lain harapan, lain pula realitanya.

Sampai April 2018 ternyata masih ada 13 BUMN yang membukukan rugi bersih. Bahkan memasuki September 2018 BUMN-BUMN besar justruk menunjukkan kinerja yang memburuk. Adapun variasi kerugian yang diderita BUMN besar itu tercermin dari laporan internal BUMN masing-masing, total kerugian BUMN besar itu hingga mencpai Rp26,95 triliun.

Seperti PT PLN sampai September 2018 membukukan rugi bersih mencapai Rp18,48 triliun, rekor kerugian terbesar di BUMN saat ini. Tingginya kerugian PLN diduga karena adanya pelemahan nilai tukar rupiah yang menyentuh level Rp15.000 per dolar dan naiknya harga minyak dunia.

Selain itu, Pt Pertamina (Persero) pada April 2015 sudah membukukan kerugian akibat penugasan menjual solar dan premium hingga Rp5,5 triliun. Hal ini tentu saja akan menggerus laba bersih Pertamina jika tidak ditanggung APBN.

Disamping itu PT Garuda Indonesia Tbk sampai Juni 2018 membukukan kerugian Rp1,6 triliun, selain itu PT Krakatau Steel Tbk per September 2018 membukukan kerugian mencapai Rp500 miliar, sedangkan PT Merpati Indonesia yang belum sempat beroperasi kembali masih menyisakan kerugian sebesar Rp737 miliar.

Sementara sisanya tiga BUMN kecil seperti PT Kertas Leces membukukan kerugian Rp17,8 miliar, PT Industri Glass (Iglass) merugi sebesar Rp55,45 miliar, dan PT Kertas Kraf Aceh membukukan kerugian sebesar Rp66 miliar.

Tentu saja realitas kerugian yang malah membesar ini akan membuat pusing tujuh keliling Rini Soemarno. Pasalnya target tak ada lagi BUMN yang merugi buyar seketika, bahkan nilai kerugiannya membengkak di bawah tahun 2013 dimana BUMN sempat membukukan kerugian sebesar Rp34 triliun.

Direktur INDEF dan pengamat ekonomi, Enny Sri Hartati, berpendapat penanganan BUMN yang merugi tidak bisa disamaratakan dengan dianggap tidak efisien. Dan sumber inefisiensi, menurutnya, terletak pada tata kelola, sumber daya manusia, dan teknologi.

Dia mencontohkan, untuk Perusahaan Perkebunan yang belanja pegawainya mencapai 40% sehingga ada inefisiensi penggunaan tenaga kerja, sementara usaha sejenis atau pabrik gula swasta, kini sudah beralih menggunakan mesin daripada industri padat karya.

Sektor swastanya jauh lebih efisien, mesin-mesin dan teknologi yang digunakan di BUMN kalah jauh bersaing. Enny juga menyebut soal ‘tambunnya struktur BUMN’, dengan jumlah direksi dan komisaris yang besar. Ini yang menyebabkan tidak efisien karena eselon satu kan tidak hanya terkait gaji direktur seorang, tapi kelembagaan juga.

Enny juga menyoroti adanya perbedaan dalam indikator kerja antara BUMN dan swasta. Swasta berpacu dengan perkembangan waktu eksternal, sementara BUMN masih dikelola dengan birokratis. Hal ini, menurutnya, menyulitkan munculnya pengambilan kebijakan yang kreatif.

Pertanyannya, apakah tata kelola yang buruk, korupsi, inefisiensi, kalah bersaing, atau karena sapi perahankah yang membuat rugi sejumlah perusahaan BUMN kembali membengkak.

Ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah yang besar buat Rini Soemarno, sebab jika salah kelola, maka reputasi Pemerintahan Jokowi yang bakal jadi taruhannya. Mengingat memburuknya BUMN tersebut ada di tahun politik. (www.nusantara.news)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…