Tahun Prihatin BUMN

Nasib Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak zaman Orde Lama hingga kini masih sering mendapat julukan “sapi perahan”. Namun tragisnya, BUMN yang paling “basah” pun akhirnya harus membukukan kerugian cukup besar di tahun politik.  Sejumlah BUMN besar kembali merugi, adakah Menteri BUMN Rini Soemarmo salah kelola?

Kita tentu masih ingat pada akhir 2017 ada 12 BUMN yang membukukan kerugian sebesar Rp5,2 triliun. Nilai kerugian itu memang menurun jika dibandingkan akhir 2016 dimana kerugian mencapai Rp6,7 triliun. Sementara total aset BUMN pada 2017 sebesar Rp7.212 triliun, naik cukup signifikan dibandingkan 2014 yang tercatat Rp4.387 triliun. Adapun laba BUMN pada 2017 juga mengalami kenaikan menjadi Rp187 triliun, lebih tinggi 12,23% dari posisi 2016 Rp164  triliun.

Di sisi lain, dana program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) yang digelontorkan perusahaan BUMN juga mengalami kenaikan dari Rp1,8 triliun pada 2014 menjadi Rp3,5 triliun pada 2017.

Meski demikian, BUMN yang masih mengalami kerugian cukup besar adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Garuda merugi hingga US$213,4 juta atau Rp2,88 triliun. Kerugian tersebut diderita Garuda salah satunya lantaran kenaikan harga minyak dunia yang membuat harga avtur turut terkerek. Kerugian juga disebabkan adanya pembayaran tax amnesty maupun denda pengadilan kasus hukum di Australia.

BUMN lainnya, PT Krakatau Steel masih mengalami kerugian sebesar Rp1,15 triliun pada 2017. Angka itu menurun sebesar 52,08% dibandingkan kerugian pada 2016 yang mencapai Rp2,40 triliun. Otomatis BUMN yang merugi tersebut tidak punya kewajiban menyetor dividen kepada pemerintah.

Menkeu Sri Mulyani sendiri mengakui pada semester I-2018 ada 24 BUMN yang merugi karena kalah saing dan tidak efisien. Sementara 11 BUMN lain masih merugi karena sedang dalam proses restrukturisasi. BUMN yang merugi karena kalah saing termasuk PT Garuda Indonesia, Perum Bulog, dan PT Krakatau Steel, PT Energy Management Indonesia, PT Pos Indonesia dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk.

Sementara BUMN yang masih merugi namun dalam proses restukturisasi termasuk PT Nindya Karya, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT Kertas Leces. Ke-24 BUMN yang merugi tersebut umumnya karena berbagai macam persoalan. Ada yang karena beban kerugian di masa lalu, ada yang karena salah manajamen, ada yang karena turunnya harga komoditas di pasar global dan karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan swasta.

Nah, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018, pemerintah menargetkan dividen BUMN mencapai Rp43,6 triliun. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah sudah ada perbaikan atau bahkan kejutan besar sehingga sejumlah BUMN itu berbalik arah membukukan laba bersih pada 2018? Atau justru malah membukukan lagi kerugian yang lebih dalam?

Rini sendiri berharap pada akhir 2018 sudah tak ada lagi BUMN yang membukukan kerugian, karena ia merasa sudah melakukan banyak restrukturisasi terhadap BUMN yang ada. Lain harapan, lain pula realitanya. Menurut data Kementerian BUMN, hingga April 2018 masih ada 13 BUMN yang membukukan rugi bersih. Bahkan memasuki September 2018 BUMN-BUMN besar justruk menunjukkan kinerja yang memburuk. Hal ini tercermin dari laporan internal BUMN masing-masing, total kerugian BUMN besar itu hingga mencpai Rp26,95 triliun.

Kerugian PT PLN (persero) misalnya, sampai September 2018 membukukan rugi bersih mencapai Rp18,48 triliun, rekor kerugian terbesar di BUMN saat ini. Tingginya kerugian PLN diduga karena adanya pelemahan nilai tukar rupiah yang menyentuh level Rp15.000 per US$ dan naiknya harga minyak dunia.

PT Garuda Indonesia Tbk sampai Juni 2018 membukukan kerugian Rp1,6 triliun, selain itu PT Krakatau Steel Tbk per September 2018 membukukan kerugian mencapai Rp500 miliar, sedangkan PT Merpati Indonesia yang belum sempat beroperasi kembali masih menyisakan kerugian sebesar Rp737 miliar.

Realitas kerugian yang malah membesar tersebut setidaknya akan membuat repot petinggi Kementerian BUMN. Pemerintah sudah saatnya memiliki indikator kerja antara BUMN dan swasta. Swasta berpacu dengan perkembangan waktu eksternal, sementara BUMN masih dikelola dengan birokratis. Hal ini tentu menyulitkan munculnya pengambilan kebijakan strategis yang kreatif.

BERITA TERKAIT

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

BERITA LAINNYA DI Editorial

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…