Keputusan BI Tahan Suku Bunga Dinilai Tepat

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan (BI-7 Days Reserve Repo Rate) menandakan stabilitas keuangan nasional aman. Hal itu seperti dikatakan President Director Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri. "Indikator bahwa stabilitas keuangan Indonesia menguat adalah menurunnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pascakeputusan BI rate, relatif tidak mengalami pelemahan yang serius," kata Daruri dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (29/10). 

Berdasarkan "interest rate differential", nilai tukar rupiah sudah mencapai keseimbangan baru dan BI cermat dalam membuat keputusan. Pasar obligasi pemerintah juga memperlihatkan tanda yang positif karena capital out flow tampaknya sudah mulai berbalik arah. Hal ini, lanjutnya, juga terlihat dari kecenderungan yang membaik pada neraca perdagangan. Pada September 2018, tercatat surplus 227,1 juta dolar AS, setelah pada Agustus mengalami defisit 1,02 miliar dolar AS.

"Tren positif ini segera ditangkap oleh pasar sebagai sinyal positif sehingga tekanan terhadap rupiah juga menurun," kata Deni. Selain itu kecenderungan modal yang masuk akan meningkat karena harga aset di Indonesia secara relatif juga sudah semakin murah dibandingkan dengan harga aset di negara maju.

"Hukum pasar tak akan dapat dilawan di mana pasar akan membeli aset yang secara relatif sudah murah. Tak heran jika modal yang masuk global juga memperlihatkan tanda-tanda semakin ramah terhadap perekonomian negara berkembang," tuturnya. Faktor penting yang ikut menentukan stabilnya nilai tukar rupiah adalah berhasilnya komunikasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan pemerintah Indonesia pada pertemuan IMF di Bali yang baru lalu untuk meyakinkan pasar.

Deni juga menyebut, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde menyatakan secara terbuka bahwa fundamental ekonomi Indonesia dan sektor keuangannya sudah berada pada kebijakan yang tepat. Komunikasi ini efektif menjangkar persepsi investor global secara efektif. "Pasar juga merespons secara positif penjelasan pemerintah bahwa pemerintah Jokowi lebih baik dalam memanfaatkan APBN ketimbang pemerintahan sebelumnya," katanya.

Ekonom senior Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero menilai strategi perbankan harus bergeser dari pendapatan bunga menjadi pendapatan jasa (fee based income) dalam menghadapi era suku bunga tinggi saat ini. "Strategi perbankan perlu ke arah sana, karena itu 'income' yang 'robust' terhadap perubahan suku bunga dan lain-lain. Jadi lebih stabil," ujar Poltak.

Poltak menuturkan, marjin bunga bersih(NIM) perbankan di Indonesia memang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu di sekitar lima persen. Namun, lanjut Poltak, ke depan marjin tersebut kecenderungannya akan terus menurun. "NIM itu kan makin lama akan makin tipis. Sementara pemberlakuan Basel III atau syaratnya 'kan' lebih tinggi. Itu berarti manajemen risiko menjadi lebih ketat, kualitas jaminannya juga harus naik. Ini kan pasti berat bagi perbankan," kata Poltak.

Ia mencontohkan NIM perbankan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang hanya di kisaran 1-3 persen, namun tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan baik kendati ada gejola ekonomi global. "Mereka masih bisa berkembang sementara tingkat suku bunganya rendah, 'cost of fund' rendah. Kok mereka bisa? Ya karena pendapatannya berasal dari 'fee based income.' Jadi ke depan, sebenarnya penting bagi bank itu perkuat pendapatan jasa," ujar Poltak.

Menurut dia, ke depannya, bank-bank di Indonesia bisa menjadi "universal bank" dimana bank juga bisa masuk ke asuransi, pasar modal, ataupun lembaga keuangan lainnya, Sehingga akan semakin banyak produk yang bisa ditawarkan kepada masyarakat. "Bank bisa jual produk asuransi melalui bancassurance atau jadi agen penjual atas instrumen reksadana," ujarnya.

Saat ini, tutur Poltak, aset industri reksadana mencapai lebih dari Rp500 triliun. Angka tersebut masih relatif kecil dibandingkan dengan tetangga, sehingga potensi tumbuhnya masih sangat besar. "Dibandingkan Thailand, per kapitanya sudah ekuivalen 1.000 dolar aset 'under management' dari industri reksadana mereka. Kita itu baru 150 dolar. Jadi industri ini masih bisa berkembang delapan kali lipat dari sekarang," ujarnya.

 

BERITA TERKAIT

AIA Hadirkan Buku Polis Digital ePolicy

AIA Hadirkan Buku Polis Digital ePolicy NERACA Jakarta - Kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian bumi menjadi komitmen bersama untuk mencapai…

BSI : Komposisi Pembiayaan EV Capai Rp180 Miliar

    NERACA Jakarta – PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) mencatat komposisi pembiayaan kendaraan ramah lingkungan atau kendaraan listrik…

LPPI : Perempuan dalam Manajemen Berpengaruh Positif ke Kinerja Bank

  NERACA Jakarta – Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menemukan bahwa peran perempuan dalam jajaran manajemen puncak berpengaruh positif…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

AIA Hadirkan Buku Polis Digital ePolicy

AIA Hadirkan Buku Polis Digital ePolicy NERACA Jakarta - Kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian bumi menjadi komitmen bersama untuk mencapai…

BSI : Komposisi Pembiayaan EV Capai Rp180 Miliar

    NERACA Jakarta – PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) mencatat komposisi pembiayaan kendaraan ramah lingkungan atau kendaraan listrik…

LPPI : Perempuan dalam Manajemen Berpengaruh Positif ke Kinerja Bank

  NERACA Jakarta – Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menemukan bahwa peran perempuan dalam jajaran manajemen puncak berpengaruh positif…