Gila Impor dan Perang Dagang di Balik Kinclongnya Laporan Menteri

Oleh: Gigin Praginanto, Pemerhati Kebijakan Publik

Berbagai prestasi dipamerkan secara nasional lewat berbagai media oleh para menteri memasuki tahun keempat kepresidenan Jokowi. Semua tampak hebat sehingga Indonesia seolah sedang melaju menuju masa depan yang cerah.

Laporan-laporan menteri tersebut menyuratkan bahwa semua program pembangunan berjalan dengan mantap. Tak ada masalah serius yang perlu dirisaukan seperti kata para kritikus.

Semua tampak berada di jalur cepat dan benar. Salah satu buktinya adalah stabilitas, bahkan turun, harga-harga barang kebutuhan. Menurut BPS, bulan Agustus dan September terjadi deflasi masing-masing 0,05 persen dan 0,18 persen. Mencengangkan memang karena dalam beberapa bulan terakhir rupiah kian loyo.

Secara teoritis, seharusnya terjadi inflasi karena ketergantungan impor yang relatif tinggi di hampir semua sektor ekonomi. Obat-obatan, vitamin, suplemen makanan mungkin mengalami kenaikan harga tertinggi karena industri farmasi, menurut catatan Gabungan Pengusaha Farmasi, hampir sepenuhnya - 90 persen - tergantung pada bahan baku dan penolong impor.

Industri elektronik, otomotif, kimia, baja, petrokimia kurang lebih sama saja. Bahkan, meski kaya kayu, ketergantungan industri mebel pada komponen impor mencapai 12 persen. Di antara yang masih harus diimpor adalah cat untuk finishing, bahan kulit untuk sofa, kerangka metal berkualitas tinggi,  dan engsel-engsel. Sialnya, sebagaimana kerap diungkapkan para industrialis mebel, harga produk impor lebih murah ketimbang buatan lokal.

Secara keseluruhan, ketergantungan industri manufaktur pada bahan baku dan penolong impor memang masih mengenaskan. Lihat saja, selama periode Januari-Juli tahun ini, menurut BPS, impor barang tercatat naik 24,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 107,32 miliar dolar AS. Dari jumlah ini, 80,52 miliar dolar AS atau 75 persen berupa bahan baku dan penolong untuk industri.

Konyolnya, pada semester pertama tahun ini impor pangan membengkak 21,64 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi 8,18 miliar dolar AS. Penyumbang terbesar dari impor jenis ini adalah beras, kedelai, garam, ikan,  dan gula. Memang memprihatinkan karena Indonesia adalah negara agraris sekaligus maritim dengan laut terluas ke-9 di dunia.

Ketergantungan pada bahan baku impor juga masih mencolok pada pakan ternak. Menurut Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), sekitar 60 persen bahan pakan ayam masih harus diimpor. Porsi terbesar adalah bungkil kedelai yang merupakan 25 persen dari pakan.

Secara keseluruhan, untuk pakan ternak, Indonesia mengimpor bungkil kedelai dari Brasil, Argentina dan Amerika Serikat (AS). Sementara, tepung daging dan tulang berasal dari Amerika, Australia dan New Zealand (Selandia Baru). Tahun lalu Indonesia mengimpor sekitar 4,2 juta ton bungkil kedelai, dan sekitar 500 ribu ton tepung daging dan tulang.

Bagaimana dengan kegergantungan impor yang demikian besar tapi harga-harga malah turun? Apakah karena banyak yang datang dari 'langit' dan boleh dibeli dengan harga seenaknya?

Jawabnya jelas 'tidak'. Deflasi tampaknya tak lepas dari perang dagang Amerika Serikat versus China. Perang ini menyebabkan barang China yang akan diekspor ke Amerika Seikat atau sebaliknya bertumpuk di gudang, dan bisa menjadi sampah kalau tak menemukan pasar baru. Daripada membusuk, mereka tentu tak akan segan main banting harga, setidaknya memangkas keuntungan.

Salah satu incaran utama para pemilik barang tersebut tentu saja Indonesia karena berpenduduk 265 juta atau terbesar keempat di dunia. Banjir barang murah ini, menurut kecurigaan Menteri Perdagangan Enggarkiasto Lukito, bisa lewat jalur resmi, dan selundupan. Keduanya bisa berakibat buruk pada produsen lokal karena pasarnya digerogoti oleh barang impor.

Hal lain yang ikut menekan inflasi adalah keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga premium dan pertalite meski harus menghabiskan triliunan ruliah per bulan untuk subsidi melalui Pertamina. Pemerintah sadar betul, bila harga  kedua jenis BBM ini naik, inflasi bakal terlalu sulit dihindari, dan pamer kesuksesan para menteri bisa menuai kritik dari segala penjuru Nusantara.

Tak kalah menarik adalah peringatan dari ICW bahwa  pembangunan infrastruktur sarat korupsi. Data ICW menyebutkan, pada 2017 terdapat 241 kasus korupsi dalam pembangunan infrastruktur. Ini setara dengan 28 persen dari total kasus korupsi di Indonesia. Tak mustahil bila selain orang lokal, dalang korupsi infrastruktur adalah pemain asing karena ketergantungan yang tinggi pada komponen impor dan investor mancanegara.

Paling mencolok adalah pembangunan pembangkit tenaga dan distribusi listrik yang sangat tergantung pada komponen impor dan investor asing. Demikian pula dengan pembangunan jalan dimana sekitar 80 persen aspalnya masih impor. Hal yang sama juga terjadi pada  baja.

Gila impor yang berpadu dengan korupsi dan utang berbunga tinggi ini dicermati betul oleh para fund managers. Inilah mengapa, meskipun para menteri mengklaim sukses besar, rupiah tetap makin loyo. Pada saatnya nanti, bila pelemahan ini berlanjut, inflasi bisa meroket dan terlalu sulit dibendung. Tinggal kita lihat  bagaimana bentuk kemarahan rakyat nanti. (www.watyutink.com)

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…