Praktik Suap di Birokrasi

Praktik suap di kalangan birokrasi kembali menjadi sorotan masyarakat. Kini giliran kasus suap yang menyeret Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin, menambah daftar panjang korupsi kepala daerah. Kredibilitas sang bupati wanita dua periode itu ambruk gara-gara silau dengan lembaran miliaran rupiah. Adalah proyek raksasa Meikarta milik Lippo Group yang membuat Neneng jatuh tersungkur dalam tahanan KPK.  

Virus suap korporasi properti itu sebenarnya sudah tercium sejak lama. Indikasi awalnya pada soal perizinan HGB atas lahan ratusan hektare yang sempat jadi polemik, harga unit yang jauh dibawa standar serta pemasaran yang luas dan masif ketika perizinan masih dalam kontroversi. Bahkan saat itu Wagub Jabar Deddy Mizwar menyatakan izin yang diberikan ke proyek Meikarta baru 84,6 ha, namun sang developer bilang 500 ha lahannya sudah dibebaskan.  

Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara diam-diam sudah memasang radar curiga. Sejak mencium gelagat permainan, secara senyap KPK bergerak menyelidiki operasi marketing bawah tanah, termasuk transaksi bawah meja.  Operasi senyap ini menemukan indikasi kuat dan pekan lalu diikuti dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Hasilnya, sejumlah pihak, termasuk Bupati dan pejabat Kabupaten Bekasi lainnya diciduk dan ditahan.

Inilah bukti konkret permainan kepala daerah kena jaring KPK. Sejak 2004, Kepala Daerah yang ditangkap karena korupsi sebanyak 99 orang. Dari jumlah tersebut, yang didalangi/melibatkan Gubernur 20 orang dan Bupati/Walikota sebanyak 79 orang. Bupati Neneng yang ditangkap merupakan kepala daerah ke-99 dalam 14 tahun terakhir. Hingga kini pelaku korupsi yang mencakup anggota Dewan Perwakilan, maka jumlahnya mencapai 1.452 orang.

Hal yang menarik bahwa delik korupsi kepala daerah paling menonjol adalah suap. Padahal, delik suap memiliki kekhasan dari modus lainnya karena penerima suap tidak mengakses langsung dana negara. Dana suap umumnya berasal dari pihak swasta yang menitipkan 'kepentingan' sehingga seharusnya sulit terdeteksi.

Praktik suap menjadi pintu masuk paling banyak bagi kepala daerah untuk mengkorup dana negara. Simpulan itu menemukan kebenaran saat KPK memaparkan data mutahir tentang modus korupsi kepala daerah. Jelas ini memperlihatkan bahwa kekuasaan sangat berpotensi melakukan tindak pidana korupsi.

Menurut Jurubicara KPK Febri Diansyah,  modus korupsi kepala daerah umumnya adalah suap terkait proyek infrastruktur atau pengadaan, pengisian jabatan, perizinan, pengurusan dan pengesahan anggaran, pengesahan peraturan atau APBD, alih fungsi hutan, tukar menukar kawasan hutan, dan lain-lain.

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (Balitbang BPKP), bahwa monopoli dan diskresi kewenangan dalam pengelolaan anggaran APBD, perekrutan dan penempatan pejabat daerah, pemberian izin sumber daya alam, pengadaan barang/jasa, pembuatan peraturan kepala daerah, dan adanya dinasti kekuasaan, adalah pintu paling sering bagi lalu lalang koruptor untuk mewujudkan niatnya. Adapun modus paling dominan adalah menerima suap atau sogok dari pengusaha swasta.

Mengapa pejabat birokrasi cenderung suka disuap? Karena tindakan (suap) ini biasanya dilakukan oleh pengusaha dengan memberikan sejumlah uang atau barang, yang tentunya berharap imbalan atas kekuasaan birokrasi pejabat yang memiliki otoritas, untuk segera melancarkan proses perizinan tanpa hambatan apapun di lapangan.

Karena dibandingkan dengan modus korupsi lainnya, suap relatif lebih mudah karena koruptor tidak berhubungan langsung dengan uang negara. Uang justru berasal dari pihak yang berkaitan dengan jasa/pekerjaan negara dan orang yang menawarkan umumnya sukarela karena berdasarkan perhitungan matematis, pemberi suap tidak dirugikan.

Jelas, kekuasaan yang monopolistik dan penggunaan wewenang diskresi yang sewenang-wenang oleh kepala daerah, pada akhirnya membuka celah sangat luas untuk menerima suap (sogok), termasuk modus korupsi lainnya. Apalagi kondisi ini diperparah lagi dengan lemahnya akuntabilitas di satuan pengawas internalnya. Lemahnya akuntabilitas disebabkan karena kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, pengelolaan aset daerah serta dalam pengadaan barang dan jasa.

Faktor lain yang turut berpotensi menimbulkan korupsi kepala daerah, adalah karena beban biaya pemilukada langsung yang amat mahal, kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, kurang pahamnya peraturan, dan pemahaman terhadap konsep budaya yang keliru dalam mengelola manajemen pemerintahan kabupaten/kota.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…