Kemerdekaan, Ketergantungan, dan Sistem Ekonomi

 

Oleh: Muhammad Ihza Azizi

Aktivis Literasi Ekonomi

 

Sudah 73 tahun Republik ini memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Sudah setua itulah Negeri ini mencita-citakan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Namun, seiring nafas perubahan yang diagendakan, realitas anti kemandirian mengancam pencapaian cita-cita ini. Semakin tua, negeri ini semakin mantap dalam cengkraman ketergantungan.

Padahal, Memaknai kemerdekaan tidak hanya sebatas dari lepasnya negeri dari penjajahan secara fisik. Namun lebih nyata dari itu, kemerdekaan harus juga dipahami sebagai bebasnya bangsa dari tiga penyakit ketergantungan: pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Dalam bukunya, Ismail dkk. (2013) menyebut bahwa sistem ekonomi Indonesia berasaskan pada kekeluargaan, kebersamaan, dan gotong royong. Sedangkan prinsip penyelenggaraannya mengamanatkan adanya keadilan dan kemanfaatan. Celakanya, implementasi pengamalannya masih jauh dari etika normatif tersebut.

Kemandirian adalah ongkos yang harus dibayar untuk mencapai kemerdekaan. Namun, tiga penyakit ketergantungan tadi menyebabkan ongkos tersebut menjadi lebih mahal. Ada tiga penyebab penyakit ketergantungan ini semakin akut. Pertama, deindustrialisasi yang disebabkan oleh kealpaan untuk mengembangkan sektor tradable sebagai tumpuan. Transformasi ekonomi Indonesia masih mengandaikan sektor non-tradable sebagai pijakannya. Padahal, sektor non-tradable adalah penopang setelah sektor tradable lebih dulu kokoh.

Kedua, rezim angaran defisit tanpa kontrol dengan utang sebagai jalan pintas. Penerimaan negara yang tak pernah beres adalah ekornya. Sedangkan kepalanya adalah perencanaan yang buruk. Ketiga, ketidakberdayaan ditengah gempuran gurita asing dalam perekonomian. Teori Dependensia era tahun 1960-1970an sangat cocok untuk menggambarkan realita saat ini. Para pengusung teori ini memiliki argumen yang sama bahwa industrialisasi di negara maju justru tak cukup mampu mengangkat negara berkembang dari kemiskinan. Sebabnya, penetrasi negara industri maju melalui penanaman modal asing justru menyebabkan negara berkembang harus membayar mahal nilai tambah produksi (value added). Argumen tersebut cocok bila melihat struktur ekspor Indonesia yang hanya mengandalkan komoditas primer.

Fakta kebijakan yang kontradiksi terhadap upaya pemantapan sistem ekonomi dengan asas dan prinsip diatas harus segera dibereskan. Jangan ada lagi paket-paket kebijakan yang justru mencederai amanat pemerataan nisbah ekonomi. Pembatalan berbagai regulasi yang melabrak konstitusi harus dilakukan. Selain itu, pembiaran sektor tradable yang terus menerus mengalami deindustrialisasi segera mungkin diatasi. Sistem ekonomi Indonesia memang masih menjadi diskursus yang belum usai. Akan tetapi, hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak menyepakati prinsip keadilan dan kemanfaatan

BERITA TERKAIT

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

Cintai Produk Lokal!

 Oleh: Eko S.A. Cahyanto Sekretaris Jenderal Kemenperin Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menggelar kegiatan Business Matching untuk mempertemukan pelaku industri selaku…

BERITA LAINNYA DI

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

Cintai Produk Lokal!

 Oleh: Eko S.A. Cahyanto Sekretaris Jenderal Kemenperin Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menggelar kegiatan Business Matching untuk mempertemukan pelaku industri selaku…