PMK 146/2017 Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Penurunan Pajak

PMK 146/2017 Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Penurunan Pajak

NERACA

Jakarta - Menurut data Kementerian Keuangan, pertumbuhan volume produksi rokok memang terus melambat sejak 2012. Bahkan, mulai mengalami penurunan volume sejak 2016. Volume produksi HT pada 2012 tercatat 325 miliar batang. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi HT masih tumbuh setiap tahun, meski dalam tren melambat.

Pada 2015, produksi HT sempat menyentuh 348 miliar batang. Pada 2016, volume produksi rokok turun 6 miliar batang atau 1,72% menjadi 342 miliar batang dari realisasi 2015. Volume produksi diperkirakan turun kembali pada 2017 menjadi 331 miliar batang, dan diproyeksikan turun lagi menjadi 324 miliar batang pada 2018.

Artinya, kenaikan tarif cukai akan menutup peluang industri hasil tembakau (IHT) untuk hidup. Apalagi, beban pajak [termasuk pajak rokok dan PPN hasil tembakau] sudah mencapai 60% dari harga rokok.

Tidak hanya itu. Penerimaan cukai HT pada 2012 tercatat Rp90,55 triliun atau tumbuh 24% dari 2011. Namun pada 2013, realisasi penerimaan cukai melambat hanya tumbuh 14,4% menjadi Rp103,56 triliun. Bahkan kinerja penerimaan cukai terus melambat pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2016, penerimaan cukai IHT hanya naik 11,95% menjadi Rp137,93 triliun. 

Kemudian tren penurunan penerimaan cukai IHT berlanjut di tahun 2017 yang hanya tumbuh 6% menjadi Rp145,48 triliun. Lalu untuk tahun 2018, pemerintah hanya mematok target penerimaan cukai IHT sebesar Rp148,23 triliun, atau naik 0,5% dari target 2017 sebesar Rp147,49 triliun.

Berbagai pemberitaan menunjukkan keberatan pihak industri dan pihak lainnya yang terkait dengan IHT terhadap rencana simplifikasi struktur tarif cukai sesuai amanat PMK No 146 Tahun 2017, seperti disuarakan oleh Gabungan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Beberapa anggota dari Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), termasuk juga Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman ( FSP RTMM-SPSI) serta Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPS).

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 146/2017 dinilai berpotensi meningkatkan pengangguran di kalangan petani tembakau dan menurunkan penerimaan pajak dari industri hasil tembakau (IHT). Pasalnya, implementasi kebijakan baru tersebut akan berdampak langsung terhadap petani tembakau, dan penerimaan negara dari pajak produsen rokok dipastikan menurun.

Dari berbagai studi terkait cukai rokok yang telah dilakukan oleh UI, UGM, dan Sekolah Pascasarjana Universitas Padjadjaran terhadap Peraturan Menkeu (PMK) No. 146/2017, ternyata menemukan hasil  yang berbeda dan menarik untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan kajian lebih lanjut.

Berdasarkan simulasi yang dilakukan tim akademisi tersebut dengan menggunakan analisis kuantitatif dengan statistik deskriptif dan pendekatan inferensial menggunakan ekonometrik berbasis panel, diperoleh bahwa penyederhanaan struktur tarif cukai akan memperlambat volume industri dan juga memperlambat pendapatan negara atas cukai industri hasil tembakau (IHT).

Khusus untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), responnya negatif terhadap peningkatan tarif cukai dan menunjukkan penurunan volume produksi yang semakin tajam, seiring dengan semakin sederhananya struktur tarif cukai. Ironisnya lagi apabila PMK No 146/2017 diterapkan, maka dipastikan akan menambah jumlah pengangguran pekerja SKT, yang tentu berpotensi menjadi masalah sosial yang perlu menjadi perhatian pemerintah.

Memang harus diakui, sampai saat ini penerimaan cukai dari IHT merupakan sumber strategis pendapatan negara. Bahkan Presiden Jokowi baru-baru ini menandatangani Perpres tentang pemanfaatan pajak rokok dari pajak daerah untuk menutup defisit keuangan BPJS. Mengingat kondisi ini, rasanya fair jika Pemerintah perlu serius dan sungguh-sungguh memperhatikan suara dari kalangan industri dalam proses perumusan kebijakan yang mengatur kinerja di masa depan.

Bagaimanapun, kebijakan tarif cukai rokok menunjukkan bahwa mengatur IHT bukan persoalan sederhana. Oleh karena itu, perumusan kebijakannya perlu dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif dan fair, serta menempuh proses yang inklusif dengan lintas kementerian, pihak industri rokok dan juga akademisi untuk menghindari konsekuensi yang justru bertentangan dengan tujuan yang dirancang dan bahkan membawa kerugian di sektor masyarakat, khususnya kalangan petani tembakau di Indonesia. Mohar

 

 

 

BERITA TERKAIT

Ombudsman Duga Ada Penyalahgunaan Beras SPHP

NERACA Jakarta - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan pihaknya memiliki sejumlah dugaan kenapa harga beras masih mahal meski…

AMAN Desak DPR Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

NERACA Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah…

Kemenkumham RI Bahas Pasal Kekayaan Intelektual pada Pertemuan GRTKF

NERACA Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI membahas berbagai pasal mengenai kekayaan intelektual pada pertemuan terkait Sumber Daya…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Ombudsman Duga Ada Penyalahgunaan Beras SPHP

NERACA Jakarta - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan pihaknya memiliki sejumlah dugaan kenapa harga beras masih mahal meski…

AMAN Desak DPR Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat

NERACA Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah…

Kemenkumham RI Bahas Pasal Kekayaan Intelektual pada Pertemuan GRTKF

NERACA Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI membahas berbagai pasal mengenai kekayaan intelektual pada pertemuan terkait Sumber Daya…