Akurasi Data Pangan

Belakangan ini polemik impor pangan selalu terjadi hampir setiap waktu. Pada awal 2018 hingga sekarang, gaungnya tetap terasa yaitu persoalan impor beras. Adanya perbedaan data antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian makin menambah panas polemik impor beras tersebut. 

Suasana gaduh semakin bertambah ketika ada rencana impor yang dilakukan oleh entitas di luar Bulog yang pada akhirnya dikembalikan ke Bulog. Dua narasi yang muncul dalam beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa pengelolaan beras masih seperti benang kusut.

Kementerian Pertanian mengklaim data produksi padi surplus sehingga impor beras tidak diperlukan. Tapi di sisi lain, Kementerian Perdagangan bersikukuh impor pangan harus dilakukan untuk meredam harga beras yang menuju pada puncak tertingginya. Seperti diketahui, harga beras mencapai angka tertinggi dalam waktu empat tahun terakhir. Harga rata-rata beras per Januari 2018 mencapai Rp10.350/kg (beras premium, Rp10.177/kg (beras medium) dan Rp9.793/kg. Tingginya harga beras ini menjadi salah satu pemicu tingginya inflasi pangan pada bulan yang sama.

Akibat carut marut data tersebut akhirnya merugikan banyak pihak. Setidaknya tiga pihak yakni pemerintah, petani dan konsumen. Bagi pemerintah hal ini tentu memusingkan. Bagi pemerintah, keputusan yang tepat dan cepat diperlukan dalam merespon kenaikan harga beras : impor atau tidak impor. Keputusan salah akan merugikan semuanya. Impor akan mendatangkan tentangan dari petani, di sisi lain, konsumen mendukung. Dan itulah yang akhirnya dilakukan pemerintah.

Selanjutnya, jika surplus beras terjadi, seharusnya pemerintah bisa mengambil opsi non impor.  Pemerintah bisa menelusuri di titik mana distribusi beras terhenti sehingga pasokan beras bisa sampai ke konsumen. Pemerintah memiliki perangkat satgas pangan yang bisa mendeteksi secara rinci terkait dengan alur tata niaga beras. Pemerintah memiliki perangkat intelijen dan aparat yang bisa mengidentifikasi itu. Namun fakta yang terjadi impor jalan terus, jadi ada masalah pasokan beras.

Bagi petani, carut marut data pangan menghalangi petani dari kesempatan menangguk untung lebih banyak dari usaha mereka. Di sini berlaku informasi asimetris yang merugikan petani. Pasokan melimpah dan tidaknya, petani bias, sehingga tidak bisa menentukan strategi kapan melepas komoditasnya dan menahan komoditasnya, terutama untuk komoditas beras.

Bagi konsumen, carut marut data pangan berimbas pada ketidakpastian harga yang terjadi. Fluktuasi harga cenderung tinggi. Misal harga komoditas barang x hari ini Rp10.000/kg. Konsumen dan pedagang akhir tidak mengetahui data pasokan, maka secara sepihak harga bisa dinaikkan dengan alasan pasokan berkurang. Konsumen dan pedagang pada rantai akhir hanya bisa menerima harga tersebut. Berbeda halnya apabila konsumen dan pedagang mengetahui pasokan barang yang, pasar berciri mendekati persaingan sempurna akan terwujud. Pedagang nakal akan tersingkir dengan sendirinya.

Apa yang menjadikan data pangan Indonesia kurang akurat? Salah satunya adalah metode perhitungan hasil produksi pertanian, terutama padi (beras) masih menggunakan metode eye estimation (perkiraan pandangan mata). Artinya, petugas pendataan hanya memperkirakan luas area panen komoditas padi dengan mengandalkan pandangan mata. Jelas, hal ini mendatangkan bias yang sangat besar.

Usaha pemerintah untuk memperbaiki metode tersebut dengan menggunakan kerangka sampel area (KSA). Metode yang rencananya mulai dilakukan tahun ini, didefinisikan sebagai teknik pendekatan sampel yang menggunakan area lahan sebagai unit enumerasi. Sistem ini berbasis teknologi sistem informasi geografi (SIG), penginderaan jauh, teknologi informasi, dan statistika yang saat ini sedang diimplementasikan di Indonesia untuk perolehan data dan informasi pertanian tanaman pangan.

Metode KSA yang mengadopsi perkembangan teknologi informasi bisa menjadi tonggak baru bagi jalan menuju akurasi data pangan. Karena itu, kami mendukung agar pemerintah menggunakan pendekatan KSA sehingga diharapkan mampu menjawab penyediaan data, informasi yang akurat dan tepat waktu untuk mendukung perencanaan program ketahanan pangan nasional. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…