Fluktuasi Kurs Rp vs Suku Bunga

Fluktuasi nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS belakangan ini sepertinya semakin liar dengan kecenderungan makin terdepresiasi. Pelemahan rupiah ini jika dibiarkan bisa memperlemah sendi-sendi perekonomian lainnya, untung saja Bank Indonesia segera bertindak dengan menaikkan bunga acuannya (7-Day Reverse Repo Rate) 25 basis poin menjadi 5,75% pada akhir September 2018. 

Kita lihat pergerakan rupiah yang semula di kisaran Rp13.900 saat libur lebaran, langsung melesat ke level Rp14.100. Kemudian bergerak perlahan namun pasti ke level Rp14.200, dan kemarin ke level Rp14.600, bahkan sempat menyentuh level terendah Rp14.900 per US$.

Melihat situasi tersebut, Rapat Dewan Gubernur BI pekan lalu akhirnya memutuskan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 5,75% dari semula 5,50%. Ini termasuk kenaikan bunga acuan yang cukup besar, mengingat arah pelemahan rupiah dalam beberapa hari ini dirasakan begitu liar. “Kalau perkembangan nilai tukar year to date(ytd) dari Desember 2017 sampai sekarang ini rupiah terdepresiasi 5,72%,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo kepada pers.

Praktis rupiah menguat kembali secara perlahan hari ini ke level Rp14.900 dan terakhir Rp14.890 per US$. Diperkirakan beberapa bulan ke depan rupiah akan terus berfluktuasi seiring dengan rencana makin The Fed akan menaikkan lagi suku bunga acuannya. Jelas, investor hot money akan berharap insentif bunga yang cukup tinggi.

Patut disadari, sejak awal tahun hingga saat ini total dana keluar dari pasar modal domestik (capital outflow) sudah mencapai Rp50 triliun atau lebih. Walau gejolak terjadi di pasar uang, imbasnya juga dirasakan di pasar modal. Investor portofolio rame-rame mengonversi sahamnya menjadi rupiah untuk kemudian dibelikan ke dolar.

Ada beberapa pemicu melemahnya rupiah secara fundamental sepanjang tahun 2018 ini. Pertama, target The Fed yang akan menaikkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sekitar 3-4 kali dalam tahun ini. Rencana ini membuat dolar AS menguat terhadap hampir seluruh mata uang utama dunia, tanpa kecuali rupiah. Kedua, perang dagang yang makin keras antara Amerika dan China, dimana Presiden Trump bolak balik mengancam akan menaikan bea masuk atas produk China. Sebaliknya Presiden Xi Jinping juga mengancam hal serupa dengan ancaman bea masuk yang lebih besar.

Ketiga, komplikasi defisit perdagangan yang terus melebar, sampai Mei 2018 besaran defisit pedagangan sudah mencapai US$2,84 miliar atau setara Rp40,61 triliun. Selain masalah defisit perdagangan, Indonesia juga sedang terjangkit berbagai jenis defisit. Berdasarkan data gabungan BI, BPS dan Kementerian Keuangan (2018), terungkap bahwa Indonesia tak hanya mengalami defisit transaksi berjalan, tapi juga mengalami defisit neraca pembayaran pada kuartal I/2018 tercatat US$3,9 miliar.

Pada periode yang sama kita juga mengalami defisit perdagangan migas sebesar US$2,4 miliar, defisit perdagangan jasa US$1,4 miliar, defisit neraca perdagangan primer US$5,5 miliar, defisit neraca pembayaran US$3,9 miliar, dan defisit neraca pendapatan primer sebesar US$7,9 miliar. Hanya keseimbangan primer yang biasa mencatat defisit, pada kuartal I/2018 mencatat surplus US$1,7 miliar.

Keempat, melebarnya defisit hingga Mei 2018 dipicu oleh derasnya arus impor komoditas pangan seperti beras dan gula sebagai penyumbang terbesar. Nilai ekspor Indonesia Mei 2018 mencapai US$16,12 miliar atau meningkat 10,90% dibanding ekspor April 2018. Demikian juga dibanding Mei 2017 meningkat 12,47%.

Secara kumulatf, nilai ekspor Indonesia Januari–Mei 2018 mencapai US$74,93 miliar atau meningkat 9,65% dibanding periode yang sama tahun 2017, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$68,09 miliar atau meningkat 9,81 %. Sementara nilai impor Indonesia Mei 2018 mencapai US$17,64 miliar atau naik 9,17% dibanding April 2018, demikian pula jika dibandingkan Mei 2017 meningkat 28,12%. Ketidakseimbangan ekspor dan impor inilah salah satu pemicu pelemahan nilai tukar rupiah.

Kelima, kenaikan harga minyak dunia yang mencapai US$76 per barel sedikit banyak menjadi pemicu pelemahan rupiah. Karena harga minyak acuan dalam APBN 2018 ditetapkan sebesar US$48 per barel, artinya terjadi defisit US$28 per barel antara target dengan realisasi.

Itulah beberapa hal yang menyebabkan pelemahan rupiah dalam enam bulan terakhir. Sementara solusi yang baru disentuh hanyalah solusi moneter, yakni lewat kenaikan bunga acuan BI. Artinya, sifat penguatan rupiah pasca kebijakan BI masih bersifat sementara.

 

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…