Kenapa Guru/Pendidik Berpolitik?

 

Oleh: M. Qudrat Nugraha, Sekjen PB PGRI

Tahun 2019 akan menjadi tahun yang bersejarah buat bangsa Indonesia, karena pada 17 April 2019 mendatang dihelat Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih presiden dan anggota legislative secara bersamaan untuk menentukan langkah bangsa dalam lima tahun ke depan. Meski baru akan dihelat tahun depan, namun gaung Pemilu sudah terasa saat ini beriringan dengan lahir beberapa hastag yang digunakan para pendukung masing-masing kubu. Pendukung petahana dengan (hastag) dirasa provokatif #2019duaperiode dan pendukung opisisi saat ini menggunakan #2019gantipresiden. Pertanyaannya, adakah yang salah dengan hastag ini ? Sampai tulisan ini dibuat tampaknya belum ada kesepakatan apakah ini salah atau benar secara hukum, rasanya para ahli hukum yang harus berbicara sesuai ranahnya.

Hingar bingar Pemilu 2019 ini juga turut dirasakan oleh para guru dan pendidik umumnya yang turut mencalonkan diri sebagai caleg melalui satu partai. Ya, pada Pemilu 2019 banyak diikuti guru atau pendidik yang ikut menjadi kontestan dengan menerima pinangan salah satu parpol atau karena dirinya ingin mencoba merasakan pahit manisnya dunia yang lain. Lantas, apa sebetulnya urgensi para guru sehingga mereka harus berpartisipasi di dunia politik ? Mungkin saja terpanggil oleh pidato Presiden Turki Erdogan, dalam suatu sambutannya pernah mengatakan (yang terjemahan bebasnya) “ Jangan salahkan suatu pemerintahan kalau para eksekutif dan legestatif diisi oleh orang-orang yang tidak diharapkan, kalau para kaum terdidik  sendiri tidak ikut serta dalam dunia perpolitikan”

Karena itu rasanya tidak ada yang salah jika guru mau menggunakan hak politiknya alias nyaleg (nyalon legestatif), karena pada dasarnya politik ialah sesuatu yang “mulia”. Bagi Pendidik politik ialah bukan hanya sekedar diartikan sempit ; merebut dan mempertahankan kekuasaan, tetapi juga sebagai sebuah seni mengatur publik secara jujur, transparan, adil, efisien dan efektif. Langkah ini, tentunya membutuhkan kompetensi kepemimpinan yang di atas rata-rata, sehingga pengelolaan kepentingan publik melahirkan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pemimpin yang berpolitik harus dengan beradab dan penuh etika dapat membawa kebaikan untuk masyarakat seperti dengan menciptakan kesejahteraan, melahirkan kepastian hukum, keadilan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya.

Meski nawaitu atau niat para guru yang nyaleg tidak dapat kita ketahui secara pasti sebagaimana ilmu pasti, apa karena ingin berbuat yang lebih baik untuk negara, atau agar lebih bisa menyerap aspirasi kepentingan para pendidik, atau alasan lain yang tidak bisa penulis ungkapkan dalam tulisan ini. Tetapi yang jelas, politik guru haruslah politik yang diartikan sesuatu yang mulia dan bernilai edukatif. Sehingga bila terpilih harus mampu memainkan perannya sebagai warga masyarakat terpelajar dan beretika untuk memperbaiki bangsa dan negaranya dari korupsi, kolusi dan nepotisme alias KKN.

Guru atau pendidik tidak boleh  a politik (anti politik ) tetapi harus menjadi aktor terdepan dalam memberikan warna politik yang beretika, edukatif dan beradab dengan tidak menebarkan kebencian dan berita hoaks dan sejenisnya. Kehadiran guru di tahun depan di masa depan harus dapat memberi warna atau tawas dalam air pada perpolitikan di Indonesia seperti aktif menghilangkan black campaign, politik uang, janji manis politik yang bohong dan sejenisnya. Jika guru/pendidik masih acuh tak acuh terhadap dinamika politik tanah air berarti dia telah melupakan perannya sebagai pengabdi masyarakat dan sebagai pencipta kekuatan negara melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia ( SDM).

Kehadiran guru di legislative ke depan diharapkan dapat memajukan pendidikan dan meningkatkan kualitas guru, kualitas belajar mengajar, hasil belajar sehingga bangsa ini mampu bersaing kompetitif di arena internasional dengan memperjuangkannya melalui jalur politik. Tentunya yang sangat mengerti tentang pendidikan tentu adalah pendidik itu sendiri bukan orang lain, saat ini keterwakilan guru di MPR/DPR boleh disebutkan sangat minim sehingga hasil yang dirasakan atau dampaknya ke dunia pendidikan masih sangat kurang atau bahkan hampir tidak dirasakan oleh para guru di Indonesia. Membangun manusia dirasakan seperti disamakan membangun jembatan dan gedung gedung bertingkat harus langsung bisa dirasakan dan dihuni hasilnya.

Seperti dalam urusan guru honorer misalnya, saat ini setidaknya lebih dari 736 ribu orang guru honorer sudah menantikan belasan tahun untuk dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara(ASN). Seperti kita bersama ketahui kesejahteraan mereka masih sangat minim dan tidak layak puluhan ribu guru honor di negeri ini diberi honor perbulannya mulai Rp.200.000 sampai dengan Rp.350.000. Masih banyak di negeri ini SD dan SMP lebih banyak honornya daripada Guru PNS nya terutama di daerah pinggiran. Oleh karena itu, dengan harapan keterwakilan dari profesi guru/pendidik di legislatif tahun depan diharapkan dapat memperbaiki manajemen SDM guru, dan juga memperbaiki semua aspek pendidikan yang ada.

Sayangnya, untuk ikut berperan serta di politik praktis tidak lah mudah bagi seorang guru, pasalnya kehadiran mereka di politik praktis dipagari berbagai aturan, seperti Undang-undang ASN No 5 Tahun 2014, UU Pemilu, UU Pilkada (aturan turunannya) dan regulasi lainnya yang kesemuanya mengatur jika seorang guru mau terjun ke dunia politik atau menggunakan hak politiknya.

Misal, jika seorang guru ASN ingin ikut mencalonkan diri pada pemilu mereka harus mengundurkan diri dari pekerjaannya, artinya mereka tidak dapat kembali lagi menjadi ASN jika mereka gagal terpilih. Lalu bagaimana dengan guru sekolah swasta? Secara etika dan yuridis, guru swasta hanya terikat pada aturan yayasan dan UU Guru dan Dosen, tetapi tidak untuk UU ASN, sehingga sah-sah saja jika mereka mencalonkan diri sebagai caleg di DPR.

Di tengah banyaknya aturan yang menyertai para guru untuk berkarir di dunia politik, faktanya saat ini banyak guru mencalonkan diri sebagai caleg. Bahkan kabarnya, Pemilu 2019 nanti menjadi pemilu dengan caleg guru / dari pendidik terbanyak pada Pileg dan Pilpres 2019.

Sikap PGRI

Seiring banyaknya kalangan pendidik/guru yang ikut nyaleg, organisasi profesi yang menaungi para guru, yakni PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) menyatakan sikap terhadap anggotanya yang ingin mencalonkan diri pada Pemilu 2019. Sesuai AD/ART organisasi PGRI membebaskan anggotanya untuk menggunakan hak politiknya seperti ikut nyaleg ( bebas memilih partai pengusungnya) dan juga memberikan hak pilihnya pada Pemilu 2019 mendatang secara rahasia bebas dan aktif.

AD/ART PGRI telah mengatur jika ada pengurus PGRI yang ingin menjadi pengurus partai, tim sukses (timses) sebuah parpol, juru kampanye, atau aksi-aksi politik praktis lainnya, mereka harus memilih diantara dua jabatan tersebut, jika mereka (pengurus PGRI) ingin terjun ke politik praktis dengan menjadi pengurus partai, timses, atau juru kampanye, mereka harus mengundurkan diri dari jabatan pengurus di PGRI dan hanya dibolehkan menjadi anggota atau sebaliknya.

PGRI menyatakan terus memberikan dorongan kepada anggota kadernya untuk ikut nyaleg pada Pemilu 2019 mendatang. Sehingga jika nanti ada keterwakilan guru di MPR/DPR RI, para kader PGRI ini dapat menyuarakan aspirasi bidang pendidikan dan  guru. PGRI juga mengimbau kepada seluruh anggotanya untuk tidak golput dan harus menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu 2019 mendatang. Dengan begitu kemajuan dunia pendidikan, kesejahteraan para pendidik diharapkan ada perbaikan di masa yang akan datang setelah Pileg dan Pilpres secara serentak April 2019 yang baru pertama terjadi di Indonesia.

Perlu digaris bawahi di sini organisasi profesi PGRI adalah organisasi non-partisan dan tidak berpolitik praktis, tidak menyalurkan aspirasinya kepada salah satu partai politik, namun demikian sesuai konstitusi PGRI dan hasil Konferensi Kerja Nasional tahun lalu PGRI akan terus mendorong anggotanya untuk menggunakan hak politiknya baik sebagai caleg maupun menggunakan hak pilihnya sebagai individu pada Pemilu 2019.

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…