Jika Tak Perhatikan Sektor Energi, Rupiah akan Terus Melemah

 

NERACA

 

Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar kembali lagi melemah mendekati Rp15.000 per dolar. Menurut Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) Marwan Batubara, rupiah akan terus melemah selama pemerintah tak memperhatikan sektor energi. Pasalnya, menurut dia, sektor energi menjadi penyumbang terbanyak dalam defisit neraca pembayaran yang mana hal itu berdampak juga terhadap kebutuhan dolar di dalam negeri.

"Mengapa rupiah melemah karena kebutuhan dolar meningkat dan mengakibatkan defisit neraca pembayaran. Sektor energi menjadi penyumbang besar karena produksi minyak kita menurun akan tetapi kebutuhan minyak terus naik. Disamping itu juga, soal harga minyak dunia terus meningkat. Di 2015, harga minyak dunia mencapai US$ 30 per barel sementara harga minyak per hari ini mencapai US$71 per barel," ungkap Marwan di Jakarta, Rabu (26/9). 

Tak hanya dari internal saja namun juga sektor eksternal yang menyebabkan impor minyak jadi lebih tinggi secara nilai. Marwan menyebut perseteruan antara Iran dengan Amerika Serikat yang membuat harga minyak jadi naik. "Amerika melarang negara lain untuk mengimpor dari Iran. Kalaupun ada negara yang mengimpor dari Iran maka akan dihadang oleh AS, padahal Iran menjadi salah satu negara pengekspor minyak dunia. Jadi saya rasa pelemahan rupiah akan terus berlanjut selama sektor energi belum dapat perhatian pemerintah," katanya.

Marwan menyebut ada beberapa hal yang bisa dijalankan pemerintah di sektor energi. Pertama yaitu membantu BUMN di sektor energi untuk berkembang.Yang ada, kata Marwan, saat ini BUMN malah tersandera dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Seperti contoh soal menjual harga BBM Premium dan Solar dengan harga yang rendah ditengah harga minyak dunia yang terus melonjak. "Tahun lalu Pertamina rugi Rp24 triliun karena premium dan solar. Hal itu membuat BUMN tak bisa berkembang, ketika mendapatkan keuntungan maka dialihkan untuk menutup kerugian. Jadi Pertamina tak bisa untuk membeli lapangan minyak baru ataupun tak bisa eksplorasi baru," jelasnya.

Kedua yaitu program campuran biodiesel sebesar 20% ke solar atau B20. Marwan menyebutkan hal itu cukup baik lantaran bisa menghemat dana mencapai US$1,5 miliar bahkan bisa meningkat ditahun depan menjadi US$3 miliar. "Akan tetapi kita meminta pemerintah untuk konsisten menerapkan kebijakan ini. Jangan sampai kebijakan ini dilakukan untuk menolong industri kelapa sawit atau CPO saja yang mana sebagian besar dimiliki oleh perusahaan asing. BUMN di sektor CPO hanya 5-6% saja," tukasnya.

Terkait dengan subsidi, Pengamat Energi Sofyano Zakaria menyebut bahwa pemberian subsidi mesti ada payung hukumnya dalam hal ini Undang-Undang. “Yang selalu diributkan adalah soal subsidinya karena tak punya UU. Maka dari itu, DPR dan pemerintah perlu membuat UU tentang subsidi agar keadilan tetap terjaga dan tidak ada lagi ketimpangam. Disatu sisi, rakyat bahagia karena bisa menikmati premium dan solar dari hasil subsidi pemerintah, akan tetapi menjadi beban bagi Pertamina,” tukasnya.

Dalam kesempatan sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan, dampak impor minyak yang disebut-sebut sebagai pemicu penguatan dolar mesti dipelajari lebih lanjut. Sebab, pemerintah juga mendapat penerimaan dalam bentuk dolar. Dia mengatakan, neraca perdagangan migas memang mengalami defisit. Jelasnya, kuartal I 2017 terjadi defisit US$ 2,4 miliar dan kuartal II 2017 mengalami defisit US$ 1,62 miliar. Kemudian, di kuartal I 2018 mengalami defisit US$ 2,61 miliar dan kuartal II 2018 defisit US$ 2,31 miliar.

"Secara keseluruhan antara semester I 2017 dan semester I 2018 kenaikan defisit kita hanya sekitar US$ 0,82 miliar, US$ 820 juta dalam 6 bulan. Ada defisit ada. Berapa besarnya tahun lalu dan tahun ini, dari setengah tahunnya hanya US$ 0,82 miliar," kata dia, seperti dikutip detikfinance. Meski defisit, Arcandra mengatakan, untuk melihat seberapa besar kontribusi defisit pada pelemahan rupiah mesti menimbang penerimaan negara. Lantaran, penerimaan negara dari minyak juga berupa dolar AS.

“Pertanyaan selanjutnya, dari sisi kebutuhan ekspor impor, apakah kalau ada defisit ekspor impor, apakah negara menerima penerimaan lebih nggak karena harga naik, karena menghasilkan minyak, ada penerimaan. Kalau ditinjau dari sisi itu, mungkin ini yang harus kita dalami lagi apa pengaruhnya, terjadi defisit iya satu triwulan US$ 2-3 billion tapi kita juga mendapatkan penerimaan negara dari semester I 2017 dibanding semester I 2018,” jelasnya.

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…