Antisipasi Arus Global

Peringatan Miliarder AS George Soros, bahwa dunia kembali berada di ambang krisis finansial besar, dan mengajukan sejumlah usulan untuk bisa meredakan tekanan ekonomi global sekarang ini, patut menjadi perhatian kita semua. Pasalnya, fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar AS belakangan ini akhirnya membuat Bank Indonesia menaikkan lagi suku bunga acuannya 25 basis poin menjadi 4,75%. Jelas, ini merupakan sinyal buat kehati-hatian ekonomi domestik.  

Dalam pertemuan tahunan Dewan Eropa Urusan Hubungan Luar Negeri di Paris, Selasa (29/5) waktu setempat, Soros mengatakan krisis sekarang ini diperburuk oleh meningkatnya sentimen anti-Uni Eropa (UE), batalnya kesepakatan nuklir Iran, melonjaknya nilai dolar AS, dan aksi para investor menarik dana dari negara-negara berkembang (emerging markets). "Kita mungkin sedang menuju ke krisis finansial besar," ujarnya seperti dikutip CNN Money.

Pusaran ancaman krisis global tentu harus ekstra diwaspadai oleh Pemerintah Indonesia. Karena kondisi dalam negeri saat ini memang memprihatinkan. Seperti dikteahui, pemerintah pada Februari 2018 kembali berutang Rp 783,23 triliun guna menutupi defisit APBN 2018 sebesar Rp 325,9 triliun, untuk pembayaran utang jatuh tempo Rp 384 triliun utang dan kebutuhan lainnya senilai Rp 72 triliun.

Adapun rencana utang dilakukan dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 727,3 triliun, pinjaman langsung luar negeri Rp 51 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 4,5 triliun. Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) kembali dilibatkan untuk pinjaman tunai, termasuk AIF dan KFW (Bank Pembangunan Jerman dalam bentuk mata uang Euro).

Tidak mengherankan jika ada sebagian investor merasa khawatir dengan kondisi objektif ekonomi Indonesia, yang secara fundamental terindikasi negatif  seiring dengan kecenderungan  pelemahan kurs rupiah yang terjadi selama awal tahun ini hingga Mei 2018.

Sejumlah pengamat ekonomi menilai dari segi fiskal, karena kesulitan likuiditas pemerintah saat ini, jika diperoleh data dan analisis yang valid dikhawatirkan keseimbangan primer juga sudah negatif. Jika defisit, artinya utang kemungkinan sudah digunakan untuk membayar utang atau subsidi sektor tertentu, bukan digunakan untuk hal produktif.

Seperti lembaga Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat bahwa utang pemerintah banyak yang tidak tercatat, khususnya di BUMN dan sektor publik. Indikatornya, jika menarik utang baru setidaknya keuangan negara seharusnya membaik, tidak defisit atau malah “tekor”. Seyogyanya, keseimbangan primer dihitung dari jumlah keseluruhan belanja negara dikurangi beban utang termasuk beban bunga utang. Disinyalir, utang baru sudah digunakan untuk membayar utang.

Beban utang negara setidaknya terpengaruh oleh selisih US$ karena asumsi APBN 2018 yang ditetapkan hanya Rp 13.400 per US$, saat ini sudah melesat mencapai Rp 14.100 per US$, dan harga minyak ditetapkan US$ 48, padahal harga dunia sudah mencapai US$ 75 – 78 per barel per hari. Tentu gejolak ini berpengaruh terhadap pembayaran utang, yang pada APBN tercatat tahun 2018 pembayaran cicilan pokok utang dan bunganya telah mencapai Rp 325 triliun. Kita tahu bahwa utang negara menggunakan mata uang dolar AS, yang dipastikan volumenya juga membengkak jika tidak di hedging.

Di sisi lain, pemerintah juga mempunyai program pembangunan pembangunan infrastruktur yang harus selesai sesuai targetnya. Akibatnya, kontraktor BUMN di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan “babak belur” dengan utang membengkak. Belum lagi, Pertamina harus menyediakan US$ untuk memenuhi kebutuhan BBM yang mencapai 1,5 juta barel per hari, sementara tunggakan tagihan pada pemerintah menumpuk. Pertamina bisa menjadi “korban” seperti halnya Adhi Karya, Waskita Karya, dan Hutama Karya yang dipaksakan membangun infrastruktur dengan utang. Begitu juga PLN, menjadi “korban” dari pembangunan sejumlah power plant sehingga dibebani utang yang sangat besar saat ini.

Dari sisi fiskal, penerimaan pajak kuartal I tahun ini juga tidak mencapai target akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi negara yang mencapai 5,06% (tahun 2017), sementara sektor industri hanya tumbuh antara 2,5% – 3%, khususnya yang berbasis bahan baku impor, bisa-bisa negatif pertumbuhannya, dan mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Karena itu, pentingnya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah, BI, OJK, LPS dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sudah saatnya lebih intens, untuk mewaspadai dampak ancaman krisis global yang setiap saat dapat datang tak terduga.

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…