Oleh: Prof Dr. Umar Basalim, Guru Besar Ekonomi Universitas Nasional
Liberalisasi perdagangan produk pertanian diatur oleh WTO dalam Agreement on Agriculture (AoA) dengan mendasarkan konsep ketahanan pangan (food security) yang mengutamakan ketersediaaan pangan tanpa mempersoalkan siapa yang memproduksi. Ini berbeda dengan konsep kedaulatan pangan (food souvereinty) yang muncul belakangan.
Implementasi AoA sangat bias kepentingan negara maju dan perusahaan multinasional. Kenyataan ini didukung fakta bahwa jika pada tahun 1960-an negara-negara berkembang merupakan eksportir pangan, pada tahun 1980-an terjadi pergeseran peran, dan mulai tahun 1990-an kebanyakan negara berkembang sudah menjadi importir pangan dan kini 70 persen negara berkembang menjadi tergantung pada impor pangan.
Kesepakatan-kesepakatan WTO dengan strategi ketahanan pangannya telah menggeser produk pangan dari ranah publik menjadi ranah privat. Belakangan 90 persen perdagangan internasional pangan jenis sereal dikuasai oleh hanya lima perusahaan multinasional (Syahyuti: 2011).
Kedaulatan pangan sebagai bagian dari kedaulatan ekonomi, adalah cermin dari kedaulatan nasional. Sudah barang tentu diperlukan pilihan kebijakan yang cerdas agar disatu sisi menjamin terciptanya kedaulatan pangan nasional dan sisi lain tetap sejalan dengan regulasi AoA/WTO.
Satu di antara produk pertanian yang perlu dicermati terkait dengan upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan dalam pusaran liberalisasi perdagangan adalah kedaulatan pangan di bidang gula. Ini karena rentetan kebijakan tata niaga gula sejak awal reformasi sampai sekarang ternyata tidak menunjang tercapai kedaulatan pangan bahkan malah memperlemah yang ditandai dengan makin besarnya porsi gula impor terhadap kebutuhan gula nasional. Dari kebutuhan gula nasional yang berada pada kisaran 5,7 juta pertahun, sekitar 50 persen nya berasal dari impor.
Gula yang dimaksud di sini adalah gula yang sehari-hari disebut sebagai gula pasir yang terdiri dari gula pasir untuk konsumsi rumah tangga yang disebut Gula Kristal Putih (GKP) dan gula pasir sebagai bahan baku industri makanan dan minuman serta farmasi yang disebut dengan Gula Kristal Rafinasi (GKR).
Sebagian kecil GKP masih diimpor sedangkan GKR seluruhnya diimpor dalam bentuk raw sugar atau gula mentah yang kemudian dengan proses sederhana diubah menjadi gula rafinasi untuk konsumsi industri.
Sejarah membuktikan bahwa bumi nusantara pada zaman Hindia Belanda pernah menjadi eksportir gula terbesar dunia setelah Kuba. Pada tahun 1929 ekspor gula mencapai 2,4 juta ton lebih (Husen Sawit dkk.: 1999) yang berarti hampir setara dengan jumlah impor gula kita sekarang. Sementara itu sekarang Indonesia justru merupakan importir gula terbesar dunia setelah Uni Eropa.
Yang perlu dicatat sebenarnya Indonesia saat ini masih punya potensi bukan hanya untuk swasembada bahkan untuk menjadi eksportir gula. Saat ini sekitar 79 persen produksi gula konsumsi langsung (GKP) dihasilkan oleh Pabrik Gula (PG) BUMN yang mengandalkan pada proteksi pemerintah dalam bentuk pembatasan impor. Tanpa proteksi, PG-BUMN lambat atau cepat akan bangkrut. Hasil GKP PG-BUMN pemasarannya dikuasai oleh sejumlah kecil pedagang besar gula (Samurai Gula) melalui lelang.
Sedangkan pabrik gula rafinasi berbahan baku raw sugar impor (gula mentah) yang berjumlah 11 PG seluruhnya dimiliki oleh pihak swasta. Mereka inilah yang mensuplai hampir seluruh kebutuhan gula untuk industri makanan, minuman dan farmasi.
Dengan demikian hampir seluruh stok gula baik GKP maupun GKR berada di tangan beberapa gelintir pengusaha sehingga mereka memiliki posisi tawar yang sangat kuat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah di bidang pergulaan.
Sebenarnya dalam pemberian izin pendirian PG-GKR, pemerintah mewajibkan para pemilik PG-GKR untuk menggunakan bahan baku dalam negeri dengan membangun kebun tebu sendiri. Tapi kewajiban itu tidak diberi batas waktu secara tegas sehingga ketergantungan terhadap raw sugar impor terus berlangsung sampai sekarang.
Kewajiban yang mengikat baru lahir tahun 2014 dalam salah satu pasal UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, namun peraturan pemerintahnya belum terbit sampai sekarang.
Seandainya saat ini pemerintah memutuskan untuk memodernisasi PG-GKP BUMN dengan menggunakan teknologi baru seperti PG-GKP Swasta yang ada di Lampung misalnya, dan diterapkan kebijakan tegas agar PG-GKR menggunakan bahan baku dalam negeri dengan membangun kebun sendiri, maka kedaulatan di bidang gula (swasembada gula) diperkirakan baru akan tercapai paling cepat lima tahun yang akan datang. Dan untuk ini diperlukan kemauan politik yang sangat kuat dari pemerintah. (www.watyutink.com)
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…
Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…
Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…
Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…
Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…