Disharmoni Petinggi Negara

Belum lama ini ada perdebatan cukup keras yang mencuat ke publik, soal perlu tidaknya impor beras antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Dirut Bulog Budi Waseso (Buwas), yang juga melibatkan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Menko Perekonomian Darmin Nasution. Masalahnya, Buwas dan Amran tidak sepakat impor beras, sementara Enggar dan Darmin setuju impor.

Buwas menolak impor beras yang izinnya sudah diterbitkan Enggar. Alasannya, cadangan beras pemerintah aman hingga Juni 2019. Buwas juga meminta agar impor beras dihentikan lantaran gudang Bulog sudah penuh. Untuk menampung produksi beras dalam negeri yang melimpah, Bulog terpaksa menyewa gudang ke pihak lain. Dana yang digelontorkan untuk menyewa gudang mencapai Rp45 miliar. Sewa gudang itu dilakukan hingga akhir tahun ini.

Pendapat Buwas dibenarkan oleh Mentan Amran Suliaman. Menurut Amran, pada dasarnya saat ini pasokan beras dari dalam negeri lebih dari cukup. Sebab, ada 47.000 ton pasokan beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Angka ini 2 kali lipat dari batas aman sebesar 25.000 ton. Oleh karena itu, tidak ada alasan masyarakat mengkhawatirkan pasokan beras di dalam negeri. “Produksi kita masih aman. Jangan disampaikan bahwa ini tidak aman,” ujarnya saat itu.

Namun penilaian Buwas tidak digubris Enggar, yang tetap bersikukuh impor beras harus tetap dilakukan. “Itu kan sudah diputuskan di Rakor Menko jadi urusan Bulog. Jadi nggak tahu saya, bukan urusan kita,” ujarnya.

Kedua pihak yang bertikai setidaknya menyiratkan dua hal negatif: pertama egoisme para pemangku kebijakan (ego sektoral), kedua kecurigaan kuat bahwa ada kekuatan besar yang mempengaruhi kebijakan yang diambil yaitu berupa kepentingan bisnis yang diduga disetir oleh mafia impor. Para mafia impor ini biasanya ikut mendulang di tahun politik. Seperti sudah menjadi momentum tahun politik adalah tahun pembiayaan politik yang besar, juga tahun penggalangan dana.

Kisruh impor beras ini juga tentu saja membuktikan bahwa manajemen impor pangan kita acak adul, seperti tercermin dari ikhtisar pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2015 hingga semester I 2017 yang dirilis Apri 2018. Ada 11 temuan kesalahan kebijakan impor pada beras, gula, garam, dan daging sapi sejak menteri perdagangan dijabat Rachmat Gobel, Thomas Lembong, sampai Enggartiasto Lukita.

Berbagai kesalahan tersebut meliputi: pertama, impor tidak diputuskan di rapat tertinggi di Kemenko Perekonomian. Kedua, impor tanpa persetujuan kementerian teknis seperti Kementerian Pertanian. Ketiga, impor tak didukung data kebutuhan dan persyaratan dokumen. Keempat, waktu pemasukan impor melebihi dari tenggat yang ditentukan. BPK juga menyimpulkan Mendag tak memiliki mekanisme pemantau realisasi impor: apakah impor lebih atau kurang, laporan terlambat atau importir tak melaporkan, hingga ada tidaknya importir nakal.

Di luar itu, kisruh impor beras menunjukkan adanya silang sengkarut data-data komoditas di kementerian. Di sinilah keakuratan data produksi dan konsumsi pangan, termasuk beras, menjadi penting. Celakanya, data satu dengan yang lainnya sering tak akurat alias amburadul.

Lalu, data mana yang harus dipegang? Data Bulog, Kementerian Pertanian, Data Badan Pusat Statistik (BPS), pengamat, atau yang mana? Dalam kontestasi politik dan realitas sosiologis di mana kita berkomunikasi dalam masyarakat hetergogen dan modern, perbedaan data itu menciptakan kegaduhan sekaligus buruknya managerial pemerintahan.

Perselisihan antar-pembantu Jokowi yang tak cukup sekali itu tentu saja membuat publik mengelus dada, tetapi ada pula yang tertawa getir. Sebelumnya, Jokowi telah berupaya menyelesaikan perselisihan pembantunya, di antaranya dengan me-reshuffle kabinet dan mengeluarkan larangan pejabat negara membuat kegaduhan. Namun, tetap saja kegaduhan dan perdebatan para pembantunya tak pernah surut. Akibatnya, imej gagal mengelola kekompakan dan tak dipatuhi bawahannya melekat kuat pada diri Jokowi.

Bahkan, menjelang Lebaran tahun 2015 silam, Wapres Jusuf Kalla berbeda pendapat dengan Presiden Jokowi soal impor beras. Kata JK, kalau produksi beras nasional tak cukup jelang Idul Fitri, peluang impor terbuka. Lalu, seperti berbalas pantun, Jokowi berkata, “Tidak perlu impor beras lagi. Masa beras impor, jagung impor, semuanya kok impor.”

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bisa jadi karena kacaunya koordinasi antarlembaga, atau adanya rivalitas di internal kabinet. Ini menunjukkan menteri yang berselisih paham di mata publik tidak memiliki empati ke publik dan sense of crisis di tahun politik saat ini. Sudah saatnya pejabat publik perlu menjaga kredibilitas dan profesionalitasnya dalam pekerjaanya.

 

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…