Oleh: Prof Dr. Umar Basalim, Guru Besar Universitas Nasional
Seperti pernah saya tulis di rubrik ini terkait dengan IMF/World Bank Annual Meeting (AM IMF-WB) di Bali 8-14 Oktober 2018 di Bali, IMF dan World Bank serta WTO adalah penganut taat fondamentalisme pasar dengan resep generiknya yang disebut Washington Concensus. Belakangan mazhab ini diberi label Neo Libaralisme (Neolib). Awalnya Neolib adalah sebutan untuk sistem ekonomi campuran antara ekonomi pasar bebas dengan sistem pemerintahan diktator yang diterapkan di Chile pada masa diktator Pinochet 1973-1990. Aslinya pasangan ekonomi pasar adalah sistem pemerintahan yang demokratis. Ternyata sistem campuran itu relatif berhasil. Bahkan dalam kasus Indonesia gabungan sistem ekonomi pasar dengan pemerintahan otoriter itu selama rezim Orde Baru berhasil mendongkrak perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan rata-rata 7 persen pertahun selama 25 tahun lebih.
Menurut Herry B. Priyono (2010), cara mudah untuk mengetahui sistem perekonomian itu menganut fondamentalisme pasar/ Neolib salah satunya adalah apakah semakin banyak bidang kehidupan diluar bidang ekonomi mengalami komersialisasi, mulai dari bidang pendidikan sampai kesejahteraan, dari hukum sampai prasarana publik.
Terkait dengan gagasan Bank Dunia untuk meliberalisasi sektor ketenagakerjaan (menghapus ketentuan upah minimum, uang pesangon, hak pengusaha untuk merekrut dan memberhentikan karyawan dan pengaturan ketenagakerjaan lainnya) tidak perlu disangsikan karena hal itu merupakan aplikasi konsistensinya terhadap mazhab fundamentalisme pasar/ neolib. Apakah akan disepakati dalam pertemuan di Bali nanti tergantung dari kepiawaian negosiasi delegasi negara-negara berkembang, setidaknya mereka yang tergabung dalam G-33.
Dari beberapa agenda AM IMF-WB seperti topik digital ekonomi, urbanisasi, sumber daya manusia dan sejumlah agenda lainnya tentu banyak yang bermanfaat untuk Indonesia, bahkan ada yang sejalan dengan misi jangka panjang Presiden Jokowi. Tapi sekali lagi pengalaman membuktikan, seperi juga disinyalir oleh Stiglitz, bahwa implementasi regulasi yang disepakati selalu bias kepentingan negara maju dengan barisan perusahaan multinasional (MNC) yang berdiri di belakangnya. Apalagi sekarang sudah ditunjukkan secara telanjang oleh AS dengan kebijakan Presiden Trump terkait perang dagang dengan China dan mitra dagang lainnya yang menyebabkan defisit besar neraca perdagangan AS. Padahal sebelumnya AS merupakan salah satu pendorong utama liberalisasi perdagangan dunia yang diatur WTO.
Lalu apakah kita, dengan alasan “kepentingan nasional” harus juga pasang kuda-kuda untuk membela proteksianisme? Soeharto saja yang otoriter berani mengatakan suka atau tidak suka, mau atau tidak mau kita harus ikut globalisasi, alias menerima liberalisasi perdagangan internasional. Memang sumber daya manusia (SDM), dari sisi kuantitas merupakan salah satu modal besar dan keunggulan Indonesia. Tapi dari sisi kualitas justru merupakan persoalan. Produktivitas pekerja Indonesia merupakan salah satu yang terendah di Asia, apalagi pada level dunia. Pada tempatnya apabila cara-cara perlindungan tenaga kerja secara konvensional selama ini dikaji ulang. Upaya peningkatan produktivitas harus dilakukan secara sungguh-sungguh tanpa harus mengabaikan hak-hak pekerja.
Di sisi lain, betapapun kita memerlukan bantuan Bank Dunia misalnya, sebagai Negara berdaulat sepantasnya kita memasang posisi tawar yang tinggi, tidak perlu terlalu merendah, sebab sebenarnya Indonesia besar dan kaya, sehingga mustahil bisa diabaikan begitu saja oleh negara maju atau lembaga internasional semacam Bank Dunia/IMF. Percaya dirilah dan siapkan langkah-langkah cerdas untuk mewarnai regulasi perekonomian dunia. Lihat sukses Asian Games, bukan saja upacaranya, tapi juga prestasi atlitnya.
Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…
Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…
Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…
Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…
Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…
Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…