Demi Keadilan, Hakim Tipikor Semestinya Membebaskan SAT

Demi Keadilan, Hakim Tipikor Semestinya Membebaskan SAT

NERACA

Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor yang mengadili mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) diharapkan lebih mengedepankan aspek keadilan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Melihat fakta-fakta yang muncul di persidangan, majelis hakim semestinya memutuskan dengan hati jernih, adil dan manusiawi, tidak tunduk pada tekanan publik, termasuk bila harus membebaskan SAT dari hukuman.

Eko B Supriyanto, Chairman InfoBank Institute, mengatakan kepada media di Jakarta, Selasa (18/9), bahwa tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap SAT sangat mengejutkan dan ironis. Jaksa KPK menuntut hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp 1 milyar subsider enam bulan kurungan karena SAT dinilai telah memperkaya orang lain atau korporasi atas penerbitan surat keterangan lunas (SKL) terhadap pemegang saham (PS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai penerima Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI).

SAT dianggap melanggar Pasal 2 Undang-Undang Tipikor jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Penerbitan SKL oleh Syafruddin dinilai jaksa merupakan perbuatan melawan hukum karena pada proses penyelesaian BLBI telah terjadi misrepresentasi oleh pemegang saham mayoritas BDNI, Sjamsul Nursalim (SN).

Beberapa Kejanggalan

Menurut Eko Supriyanto, terdapat sejumlah kejanggalan dalam persidangan kasus SAT di Pengadilan Tipikor karena beberapa fakta hukum justru tidak memperkuat tuduhan jaksa KPK. Beberapa kejanggalan tersebut antara lain:

Pertama, masalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kerangka penyelesaian masalah BLBI-BDNI tersebut, BPK telah melakukan audit pada 2002 dan 2006. Hasilnya, seluruh kewajiban SN sudah dilunasi dan tidak ditemukan masalah. Laporan Audit Investigatif BPK 2017 diminta oleh KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka, yang hasilnya bertolak belakang dengan dua audit BPK sebelumnya, yaitu terdapat kerugian negara dalam penyelesaian BLBI-BDNI.

Audit investigatif tersebut tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 5 UU BPK, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa (auditee) dan harus dikonfirmasi ke auditee-nya, serta harus menggunakan data primer. Tapi dalam Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tersebut tidak ada auditee yang diperiksa, dengan sendirinya tidak pernah terkonfirmasi. Data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder.

Kedua, masalah misrepresentasi. Ahli hukum perdata Prof Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan. Karena dalam hukum perdata suatu misrepresentasi tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan."Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak," kata Prof Nindyo Pramono.

Ketiga, masalah kerugian negara. Ketika BPPN dibubarkan maka hak tagih beralih ke Kementerian Keuangan. BPPN telah menyerahkan hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8T pada 2004, namun kemudian aset tersebut dijual oleh Menteri Keuangan pada 2007 senilai Rp 220 M. Jadi yang menjual aset tersebut bukan SAT ketika menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu.

Keempat, masalah pemidanaan kasus perdata. Pemerintah dan SN sebagai PS BANK telah terikat perjanjian keperdataan yang dirancang oleh pemerintah sendiri, yaitu MSAA. Sesuai situasi krisis waktu itu (1998), MSAA dirancang dan diterapkan bagi PS bank yang kooperatif dan memiliki aset cukup untuk membayar BLBI.

Kelima, masalah saksi dari petambak. Persidangan kasus SAT ini tidak mendengar kesaksian petambak secara berimbang. Jaksa hanya memanggil saksi-saksi yang bisa memperkuat tuduhan, namun sidang pengadilan ini tidak mendengar saksi para petambak yang diajukan oleh pihak terdakwa.

Keenam, penyelesaian kewajiban diselesaikan dengan MSAA dan disepakati diluar pengadilan (out of court settlement) dan perdata serta sudah di akta notariskan. Plus pemberian SKL secara hukum sudah terpenuhi dengan mengikuti seluruh proses, seperti UU No 25 Tahun 2000 tentang Propenas, Inpres No 8 tahun 2002, Tap MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002. Pemerintah sendirisudah menyatakan SKL-BDNI tidak bermasalah.

Tujuh, tidak ada gratifikasi – atau penerimaan uang baik dirinya maupun keluarganya ataupun Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tidak dituduhkan menerima gratifikasi. 

Berikan Keadilan

Berkaitan dengan tuntutan jaksa KPK terhadap SAT, pengamat ekonomi dan perbankan itu meminta hakim memberikan keadilan dalam memutuskan perkara SAT tersebut.

Penyelesaian kasus pemberian SKL BLBI, katanya, semestinya juga dipertimbangkan mengenai sikap kooperatif PS BDNI yang menandatangani MSAA, mengingat banyak obligor lain yang sengaja menghindar kejaran pemerintah untuk membayar hutang dan kewajibannya. Setelah hampir 20 tahun berjalan, menurut catatan Kementerian Keuangan, masih cukup banyak obligor BLBI penandatanganan Akta Pengakuan Utang (APU) yang belum melunasi kewajiban mereka.

“Jangan sampai penegakan hukum kita justru memperdaya pemerintah dan penegak hukum karena ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab,” katanya.

Persidangan kasus SKL BLBI tersebut juga menimbulkan pertanyaan besar bagi dunia usaha, dimana konsistensi kebijakan negara? Mengapa pejabat yang ditugaskan melaksanakan kebijakan negara justru dikriminalkan?

Oleh karena itu, Eko Supriyanto menilai keputusan majelis hakim Tipikor yang pantas terhadap SAT adalah dengan membebaskannya dari hukuman. Apalagi, kita tahu SAT adalah ketua BPPN yang berhasil mengakhiri tugas BPPN menyehatkan perbankan dan hasilnya bisa dirasakan hingga sekarang ini. Bank-bank sehat dan mampu berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan fungsi pemberian kredit bagi dunia usaha. Mohar

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…