Korupsi Massal Anggota Dewan

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

Ironis, di tengah terpaan perang dagang dan rupiah yang terus terkoreksi, ternyata kasus wakil rakyat yang terjerat korupsi massal semakin terkuak. Betapa tidak, dari 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 ternyata 41 diantaranya terjerat suap – korupsi. Kasus ini bermula saat KPK melakukan OTT Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan – DPUPPB Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono dan manta Ketua DPRD Kota Malang, Moch Arief Wicaksono pada Nopember 2017 lalu. Ironisnya hal ini juga melibatkan mantan Wali Kota Malang, Mochamad Anton.

Di satu sisi, kasus serupa juga pernah terjadi di Medan, Sumatera Utara dengan melibatkan semua anggota DPRD berjumlah 50 orang periode 2009-2014 yang melibatkan mantan Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho. Di sisi lain tuntutan wakil rakyat yang bersih dan pemerintahan yang bersih saat ini semakin menguat terutama pasca hasil pilkada serentak kemarin.

Kasus lain yang juga ironis dengan melibatkan terdakwa Gubernur Jambi, Zumi Zola bahwa semua anggota DPRD Jambi periode 2014-2019 menerima uang dengan besaran yang bervariasi sebagai bagian dari ‘uang ketok palu’ untuk pengesahan RAPBD 2017 dan 2018. Jika dicermati, ‘budaya uang ketok palu’ adalah modus klasik kepala daerah untuk memuluskan RAPBD dengan berbagai seluk beluk sebaran proyek yang dilakukan termasuk pelibatan kontraktor rekanan yang bisa diajak kerjasama penentuan besaran anggaran untuk diselewengkan. Oleh karena itu e-budgeting menjadi salah satu alternatif  untuk meminimalisasi munculnya kasus-kasus seperti ini tetapi faktanya korupsi massal masih terus terjadi dan nominal yang menjadi kerugian negara juga semakin besar. Fakta ini menjadi sentimen negatif terhadap suskes pilkada serentak kemarin dan juga agenda pileg-pilpres 2019, apalagi putusan MA juga memperbolehkan mantan koruptor nyaleg.

Ironi

Rententan korupsi berjamaah dan klimaks kasus korupsi e-ktp dengan vonis 15 tahun penjara yang diterima Setya Novanto ternyata tidak menyurutkan nyali para koruptor. Selain itu, mundurnya Idrus Marham dari Kabinet Kerja di era pemerintahan Jokowi juga terkait dugaan korupsi PLTU Riau-1 dan sekaligus menjadi tuntutan pembentukan kabinet bersih pasca pilpres 2019. Kasus ini terkait OTT 13 Juli 2018 atas mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebagai tersangka suap proyek PLTU Riau-1. Sebelumnya juga terjadi OTT terhadap Amin Santono anggota Komisi XI dan dugaan keterlibatan dari peran pejabat Kemenkeu terkait kasus suap APBN-P 2018. Komplit sudah terjadinya korupsi di republik ini di semua level birokrasi pemerintahan.

Sanksi hukum terhadap koruptor ternyata tidak mengerdilkan nyali para calon koruptor sehingga beralasan jika trend kejahatan korupsi terus meningkat. Ironisnya, hal ini tidak lagi dilakukan sendirian, tetapi juga berjamaah dan melibatkan sinergi antara eksekutif dan legislatif, lihat misal kasus korupsi berjamaah di Sumatera Utara dan Kota Malang. Bahkan, politik dinasti yang muncul di era otda juga memberikan dampak signifikan terhadap maraknya korupsi, termasuk juga terkuaknya kasus korupsi yang melibatkan bapak – anak dan suami – istri. Seolah telah habis pikir bagaimana strategi dan efek jera mereduksi korupsi di republik ini pastinya semangat untuk terus melawan korupsi masih akan ada selama KPK tetap terjaga marwahnya, meski Novel Baswedan menjadi korban.

Fakta maraknya korupsi di republik ini kian menguatkan adanya rilis sejumlah lembaga internasional terkait predikat negara terkorup. Oleh karena itu, bukannya tidak mungkin ancaman dari kebangkrutan di tahun 2030 tidak terlepas dari maraknya kasus korupsi yang terjadi berkelanjutan tanpa ada efek jera yang signifikan meredam perilaku korupsi dan ini menjadi preseden buruk terkait pelaksanaan pilpres 2019.

Argumen mendasar dari fakta ini karena adanya kepentingan ekonomi-politik dan politik-ekonomi, apalagi para penyandang dana pasti juga berkepentingan terhadap hasil pilpres. Begitu juga dari kasus pilkada yang sangat rentan menghasilkan kepala daerah korup. Logika mahalnya ongkos politik menjadi dasar yang menguatkan tuntutan balik modal dari para petarung di pesta demokrasi, belum lagi target kejar setoran untuk bisa secepatnya balik modal. Artinya, OTT oleh KPK, rompi orange dan lapas Sukamiskin seolah tiada arti, apalagi ada kecenderungan fasilitas lapas juga bisa dibeli dan dugaan obral remisi bagi koruptor serta putusan MA yang memperbolehkan mantan koruptor nyaleg.

Terlepas dari maraknya perilaku korupsi, yang pasti, pertanyaannya adalah bagaimana membangun efek jera yang efektif? Pertanyaan ini mengemuka karena efek hukum yang maksimal diterapkan tidak efektif meredam perilaku korupsi. Pada 2017 sampai triwulan III 2018 banyak kepala daerah terjerat OTT. Bahkan, ada juga diantaranya yang menjadi petahana dan ada juga yang menang. Bahkan, kini ada sejumlah mantan koruptor yang nyaleg dan akhirnya putusan MA memperbolehkan mantan koruptor nyaleg. Artinya, bukan tidak mungkin pasca pesta demokrasi akan ada lagi petahana dan kepala daerah terciduk KPK. Jika ini benar maka sinyalemen pilkada menjadi muara terjadinya kasus korupsi ada benarnya karena mahalnya biaya politik dan balik modal. Hal ini mendasari pelantikan tahap pertama untuk 9 Gubernur hasil pilkada pada 5 September kemarin.

Ancaman

Kegeraman terhadap maraknya korupsi dan tidak adanya efek jera maka beralasan jika kemudian muncul wacana agar gelar akademik koruptor dicabut. Meskipun tidak ada relevansi antara gelar akademik dan korupsi, namun sebagai bentuk efek jera maka ide pencabutan gelar akademik menarik dicermati. Paling tidak, kampus sebagai pencetak generasi bangsa berkualitas juga berkepentingan untuk menjaga nama baik almamater dan juga norma keilmuan yang disandang para alumninya. Apalagi jika dikaitkan fakta gelar akademis para koruptor yang berderet-deret mulai dari strata 1, master sampai doktoral. Bahkan, demi mengejar gelar itu tidak jarang banyak juga yang membuat gelar palsu pada saat pengajuan bacaleg. Dari fakta ini maka benar adanya jika ide pencabutan gelar akademis bagi koruptor layak dilakukan, sekaligus sebagai bentuk efek jera.

Mengapa harus gelar akademis? Logika berpikir sederhana adalah seseorang yang telah mengenyam bangku pendidikan maka secara normatif telah menguasai keilmuan dan juga kompetensi sesuai bidang ilmunya. Artinya, orang yang mengenyam keilmuan di bidang hukum maka sejatinya mengerti, memahami dan mendalami semua seluk beluk hukum yang ada sehingga sedari dini bisa menghindar dari perilaku dan perbuatan yang sekiranya melawan hukum. Begitu juga dengan keilmuan yang lainnya sehingga upaya untuk melakukan tindakan dan perbuatan yang diluar dari keilmuannya sejatinya telah mereka sadari sedari awal. Logika ini menjadi pembenar ketika misalnya seseorang yang tahu tentang hukum justru melanggar hukum. Paling tidak kasus Akhil Mokhtar menjadi buktinya sehingga pidana maksimal menjadi relevan, meski tidak ada efek jeranya dan juga kasus mafia peradilan yang kemarin juga terjadi di PN Medan.

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…