Tarif Impor Naik Tak Jamin Masalah Selesai

Oleh: Pril Huseno

Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap nilai mata uang rupiah, pemerintah akhirnya menerbitkan aturan tentang revisi pajak impor PPh pasal 22 pada rabu (5/9). Revisi pajak Impor PPh pasal 22 diterapkan bagi 1,147 barang konsumsi impor, dibagi menjadi 3 bagian pos tarif sesuai tingkat kepentingan barang di dalam negeri.

Pertama, untuk 719 pos tarif dinaikkan tarif 3 kali lipat dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen, karena termasuk barang konsumsi yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Kedua, merevisi tarif 218 barang yang sebelumnya 2,5 persen dinaikkan 4 kali lipat menjadi 10 persen. Ketiga, merevisi tarif barang impor mewah sebanyak 210 barang menjadi 10 persen yang sebelumnya 7,5 persen (liputan6.com,5/9)

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, kenaikan tarif tersebut tidak dimaksudkan untuik meningkatkan penerimaan pajak dalam negeri. Melainkan lebih ditujukan untuk mengurangi tekanan defisit current account (CAD) yang telah menekan rupiah secara tidak langsung. Sri Mulyani juga berharap industri dalam negeri bisa beralih mengganti produk impor dengan produk-produk yang bisa disuplai dari dalam negeri. Sebagai upaya pemihakan terhadap industri dalam negeri.

Namun pertanyaannya, betulkah langkah menaikkan tarif pajak impor tersebut akan efektif membantu mengurangi tekanan CAD? Sebetulnya, berapa prosentase impor barang konsumsi terhadap total impor keseluruhan? Bukankah sebagian besar atau hampir 90 persen impor justru terdiri dari barang modal dan bahan baku penolong, semisal impor BBM dari luar negeri yang merupakan unsur paling besar penyebab terjadinya CAD?

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sendiri menyatakan kecewa dengan keputusan pemerintah menaikkan tarif pajak impor. Keputusan itu dianggap sepihak, tidak diajak berunding sebelumnya. Padahal keputusan menaikkan tarif pajak impor diperkirakan hanya efektif untuk jangka pendek. Karena akan menurunkan volume impor atas barang konsumsi. Di sisi lain terutama konsumen dalam negeri, pengenaan pajak atas barang impor tentu akan menambah beban bagi usaha industri makanan seperti tahu tempe. Pengusaha makanan otomatis harus menaikkan harga karena selama ini bahan baku kedelai hanya dari impor. Sementara daya beli masyarakat belum juga pulih sepenuhnya.

Keputusan menaikkan pajak impor tersebut meski disetujui oleh pengusaha tetapi dianggap belum cukup. Pelaku usaha menilai ketentuan itu tidak dilengkapi  aturan lain yang mendukung pengusaha dalam negeri untuk beralih ke produk dalam negeri. Misalnya memberi kemudahan dan insentif bagi industri.

Lagipula, apakah pemerintah juga telah menghitung risiko dari investor luar negeri yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan kenaikan tarif impor? Karena, bisa saja hal itu dipermasalahkan dan mengadukan kebijakan itu ke WTO? Padahal, Indonesia baru saja lepas dari ancaman Amerika Serikat yang membatalkan rencana retaliasi setelah sebelumnya meminta izin WTO untuk pengenaan sanksi atas sengketa dagang dengan Indonesia, dan Indonesia dengan New Zealand.

Cukup kuatkah Indonesia bersiap diri atas risiko-risiko yang bakal dihadapi? Efektifkah pengenaan pajak PPh pasal 22 atas barang impor untuk mengurangi tekanan terhadap CAD? Atau, perlukah memilih alternatif lain semisal dengan memotong subsidi atas BBM? Mana yang lebih efektif? (www.watyutink.com)

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…