Menyoal Pertumbuhan Ekonomi Nasional

 

Oleh : Otjih Sewandarijatun, Alumnus Universitas Udayana, Bali

 

Dalam tahun politik yang semakin memanas, berbagai isu telah dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas kelompok, sekaligus menyungkurkan popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas lawan politiknya. Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah cukup baik, walaupun tidak seperti dijanjikan ketika “president oats campaign” di tahun 2014, dimana kelompok “oposisi” atau “lawan politik” tidak mau menerima mengapa pertumbuhan ekonomi ideal belum tercapai selama ini dan langsung menjustifikasi sebagai bentuk kegagalan pemerintah.

Dalam acara pemandangan umum RUU APBN 2019 di DPR-RI Jakarta, PKS dan Partai Gerindra melalui legislatornya masing-masing mempermasalahkan belum tercapainya pertumbuhan ekonomi nasional. Anggota Partai Gerindra Ramson Siagian mengatakan, pertumbuhan ekonomi masih jauh dari janji 7% tersebut capaian yang direalisasikan Jokowi-JK, tahun 2015 sebesar 4,8%, 2016 5,0%, dan 2017 setelah tiga tahun 5,1%. Outlook 2018 hanya 5,2%.

Penilaian senada, dikemukakan Adang Sudrajat, legislator dari PKS dengan mengatakan, target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,3% di 2019 atau lebih rendah dari APBN 2018 sebesar 5,4%. Target pemerintah tahun depan menunjukkan pemerintah semakin tidak optimis memenuhi janji-janjinya. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah penilaian dari Partai Gerindra dan PKS tersebut memiliki alasan yang kuat dengan memperhatikan perkembangan lingkungan strategis yang ada ataukah sekedar “propaganda politik” di tahun politik? Benarkah masyarakat Indonesia kecewa dengan pertumbuhan ekonomi saat ini ?

Sudah Right on The Track

“Sinisme” Partai Gerindra dan PKS sebenarnya sudah dijawab secara elegan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang intinya pemerintah tetap melihat sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan untuk dicapai dan menjadi acuan bagi perhitungan dari APBN tahun 2019. Sri Mulyani mengatakan, sumber pertumbuhan ini meliputi konsumsi, investasi, hingga ekspor. Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi yang telah disampaikan ialah angka yang realistis.

"Jadi dalam hal ini kita akan melihat dari sisi supply dan demand-nya. Agregat demand-nya berasal dari sisi konsumsi, investasi, ekspor, maupun pertumbuhan dari government spending. Jadi angka yang kita sampaikan di situ adalah angka yang memang menunjukkan suatu tingkat realistis dan diharapkan akan menimbulkan kredibilitas dari angka-angka APBN," jelasnya. Sri Mulyani bilang, pemerintah akan menggunakan berbagai instrumen untuk memacu perekonomian, sehingga, bisa menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Pemerintah juga telah berkali-kali menjelaskan masalah “gangguan” terhadap perekonomian nasional tidak serta merta disebabkan oleh permasalahan internal namun juga banyak yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti terkait “manuver” stimulus The Fed yang menggoncangkan ekonomi dunia antara lain program quantitative easing atau pengurangan kebijakan memperlonggar likuiditas yaitu  pertumbuhan ekonomi akan terjadi pada semester II 2013 dan berlanjut hingga 2014, dimana The Fed membeli obligasi, mempertahankan suku bunga rendah, mendorong investasi agar dapat membuka lapangan kerja, menekan pengangguran, pasar properti mulai membaik dan menekan kekhawatiran atas suku bunga.

Kebijakan ini jelas mempengaruhi kinerja perekonomian berbagai negara, termasuk Indonesia, karena AS sebagai negara ekonomi terkuat di dunia saat ini juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah dibandingkan Indonesia dan kondisi AS yang sedang melakukan perang dagang dengan China juga lambat laun akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, karena sudah pasti akan berimbas ke ekspor, impor, penundaan investasi, memunculkan inflasi dan pelemahan nilai tukar mata uang sejumlah negara. Bank Dunia memroyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya sebesar 3,2% sampai 3,4% akibat perang dagang AS vs China, dimana pertumbuhan ini jelas dibawah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,2% sampai 5,4%. Kondisi perkembangan lingkungan strategis global yang bersifat “uncertainty” ini tampaknya kurang diperhatikan oleh para kritikus yang mempersoalkan kinerja perekonomian nasional dibawah Jokowi.

Menurut Ketua Tim Pelaksana KPPIP Wahyu Utomo mengatakan, sudah ada 30 proyek strategis nasional yang sudah selesai dibangun pada 2016 dan 2017 dengan total nilai proyek mencapai Rp 94,8 Triliun.

20 Proyek Strategis Nasional yang selesai pada 2016 yaitu Jalan Tol Gempol-Pandaan, Jawa Timur sepanjang 14 km; Bandara Sentani, Jayapura, Papua; Bandara Juwata, Tarakan, Kalimantan Utara; Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu; Bandara Mutiara, Palu; Bandara Matahora, Wakatobi, Sulawesi Tenggara; Bandara Labuan Bajo, Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT); Pengembangan Bandara Soekarno Hatta (Termasuk Terminal 3), Banten; Pelabuhan Kalibaru, DKI Jakarta; Pipa Gas Belawan-Sei Mengkei kapasitas 75 mmscfd, Sumatera Utara; PLBN dan SP Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat; PLBN dan SP Mota'ain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT); PLBN dan SP Motamassin, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT); PLBN dan SP Skouw, Kota Jayapura, Papua; Bendungan Paya Seunara, Kota Sabang, Aceh; Bendungan Rajui, Kabupaten Pidie, Aceh; Bendungan Jatigede, Kota Sumedang, Jawa Barat; Bendungan Bajulmati, Banyuwangi, Jawa Timur; Bendungan Nipah, Madura, Jawa Timur; dan Bendungan Titab, Kabupaten Buleleng, Bali.

Sedangkan, 10 proyek infrastruktur yang selesai pada 2017 antara lain Jalan Tol Soreang-Pasirkoja, Jawa Barat sepanjang 11 km; Jalan Tol Mojokerto-Surabaya, Jawa Timur sepanjang 6,3 km; Jalan Akses Tanjung Priok, DKI Jakarta sepanjang 16,7 km; Bandara Raden Inten II, Lampung; Pengembangan Lapangan Jangkrik dan Jangkrik North East Wilayah Kerja Muara Bakau, Kalimantan Timur; Pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dan Sarana Penunjang Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dan Sarana Penunjang Aruk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat; Pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dan Sarana Penunjang Wini, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT); Bendungan Teritip, Kalimantan Timur dan Pembangunan Saluran Suplesi Daerah Irigasi Umpu Sistem (Way Besai), Lampung.

Imbas Politik Meningkat

            Serangan “propaganda” lawan politik Jokowi yang mempersoalkan utang luar negeri Indonesia semakin kurang bermakna dengan hasil pembangunan infrastruktur yang selesai dilaksanakan, walaupun ditengah pertumbuhan ekonomi global yang kurang menyakinkan. Ternyata ada beberapa dampak yang dirasakan oleh Indonesia antara lain : pertama, perkembangan ekonomi Indonesia masih tetap seksi dan menarik bagi negara investor. Kedua, rangking Logistics Performance Index (LPI) Indonesia di tahun 2018 berdasarkan laporan Bank Dunia mengalami peningkatan dari posisi 63 di tahun 2016 menjadi posisi 46 di tahun 2018.

Hal ini menunjukkan Indonesia sukses memperbaiki 4 faktor utama penilaian LPI yaitu adanya efisiensi dalam Bea Cukai dan manajemen perbatasan; peningkatan kualitas perdagangan dan transportasi akibat pembangunan infrastruktur; kompetensi dan kualitas pelayanan logistik yang membaik serta kemampuan untuk memantau pelaksanaan kiriman sampai tempat tujuan yang semakin membaik. Ketiga, pembangunan infrastruktur telah berhasil menurunkan tingkat kesenjangan (koefisien gini ratio) dari 0,41 di tahun 2014 menjadi 0,38 pada Maret 2018 (laporan BPS). Keempat, Indeks Kebahagiaan Masyarakat Indonesia juga meningkat dari 68,28 di tahun 2014 menjadi 70,69 di tahun 2017 (laporan BPS).

            Imbasnya, hasil survei LSI-Denny JA yang dirilis 21/8/2018 menunjukkan mayoritas responden tetap akan memilih Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019, dimana Jokowi-Ma'ruf dipilih oleh 52,2% responden dan Prabowo-Sandiaga 29,5%. Adapun responden yang tidak menjawab mencapai 18,3%. Sedangkan, Founder dan CEO Alvara Research Center Hasanudin Ali merilis hasil survei mereka pada 26/8/2018 mengatakan, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 53,6% dan Prabowo-Sandiaga 35,2%, sedangkan pemilih yang belum memutuskan sebesar 11,2%.

Siti Zuhro dalam diskusi yang diadakan Pollmark mengatakan pemilih milenial tidak suka dengan pemimpin yang korupsi ataupun kebohongan di publik. Milenial lebih suka pemimpin yang lugas, ramah, dan asyik untuk anak muda. Sosok tersebut dimiliki figur Joko Widodo.

            Memang mengritik tanpa didasari fakta yang kuat dan alasan yang cerdas, akan membuat kritikan malah menjadi “killing punch” bagi pengritiknya di tahun politik yang semakin pedas ini.

 



 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…